Tunis (ANTARA Nes) Sehari setelah terbunuhnya tokoh oposisi kenamaan, Tunisia bersiap menghadapi kerusuhan politik lebih lanjut, sementara partai oposisi menyerukan pengunduran diri pemerintah dan pembubaran Majelis Konstituen.

Mohamed Brahmi, penentang kuat Ennahda di Majelis Konstituen, ditembak hingga tewas oleh tersangka pegiat pada Kamis (25/7).

Sejak Kamis, ribuan orang berpawai di jalan, dan menyerukan pengunduran diri pemerintah --yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ennahda, Ali Laarayedh.

Sejumlah partai oposisi --Front Rakyat, Nida Tounes (Seruan Tunisia) dan Gerakan Rakyat, pimpinan Brahmi-- menyerukan pembubaran Majelis Konstituen, yang memiliki 217 anggota.

Majelis itu dipandang "telah gagal dalam misinya merancang undang-undang dasar baru dan mempersiapkan pemilihan anggota dewan legislatif serta presiden mendatang".

Pada Jumat, satu lagi partai oposisi, El Mubadara (Gagasan), yang dipimpin Kamel Morjane, mengumumkan pengunduran diri lima anggota dari Majelis tersebut, demikian laporan TAP sebagaimana dikutip Xinhua.

Juru Bicara Front Rakyat Hamma Hammami, Jumat, mengatakan partainya, serta Uni bagi Tunisia dan sejumlah organisasi dan perhimpunan, telah sepakat untuk mengakhiri peran Troika, dan mendirikan "pemerintah penyelamatan nasional" dengan tujuan mempersiapkan pemilihan umum "yang transparan", kata radio Mosaique FM.

Istilah Troika merujuk kepada koalisi tiga partai yang terdiri atas Ennahda, Ettakatol dan Kongres bagi Republik.

Di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat, serikat pekerja utama di negeri tersebut --UGTT, juga menyerukan pembentukan pemerintah penyelamatan nasional dan pembubaran Majelis Konstituen.

Banyak pengamat mengatakan pemakaman kenegaraan Brahmi, yang direncanakan pada Sabtu, bisa menjadi ujian bagi kestabilan rapuh di negeri itu.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013