Pagi itu seorang anak berbaju lusuh tidur dengan lelapnya, beralas ubin dan berselimutkan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah atap di stasiun kereta api Juanda, Jakarta Pusat. Ketika derap langkah para penumpang yang datang mulai mengusik mimpi indahnya, dengan sigap dia bangun dari tidurnya. Matanya menyapu setiap sudut di dalam stasiun seraya mendekati penumpang yang jumlahnya kian banyak. Kali ini bukan hanya pakaiannya saja yang lusuh, dia juga memasang muka memelas yang lebih lusuh dari bajunya. Tangannya mulai membentuk `jurus lima jari` seraya menengadah ke arah penumpang yang dikiranya akan memberi selogam uang. "Bu, minta uang dong buat makan. Tolong bu, saya belum makan dari kemarin" pintanya mengiba. Sang ibu berbadan subur dengan wangi menyengat yang merebak ke segala arah itu melirik sekilas, "Maaf ya, tidak ada uang recehan," kata si ibu seraya menjauh dari si anak gelandangan. Tapi dia tak putus asa. Dia terus merengek ke orang lainnya, yang lalu-lalang di tempat yang telah jadi tempat tinggalnya itu. Bagi sebagian anak-anak jalanan yang biasa hidup menggelandang, stasiun kereta api bukan hanya menjadi tempat untuk mencari nafkah tetapi lebih merupakan "istana" bagi mereka. Sebagian dari mereka mengaku meninggalkan rumah yang tidak lagi memberikan rasa nyaman untuk menggantungkan hidup di setiap sudut yang tersisa. Bocah berusia 12 tahun yang bernama Januar itu mengaku hampir setahun hidup bersama anak jalanan lain di Stasiun Juanda. "Saya kabur dari rumah untuk tinggal bersama teman-teman di stasiun ini. Saya bosan kena marah terus sama bapak sejak ada ibu tiri," kata anak yang menghidupi dirinya sendiri dari hasil mengemis di dekat loket penjualan karcis di beberapa stasiun besar di Jakarta. "Dalam sehari saya bisa mendapat duit Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Duit itu saya pakai untuk makan, dua sampai tiga kali sehari," katanya. Ketika nasib sedang tidak memihak kepadanya, dalam sehari bisa saja dia tidak mendapatkan uang sepeserpun, "Kalo gak dapet uang saya bertahan untuk tidak makan, tapi teman-teman yang lain biasanya kasihan dan berbagi makanan sama saya," katanya lirih. Januar yang tidak pernah bisa membaca tersebut menemukan rasa nyaman ketika hidup menggelandang di jalanan. Namun demikian dia mengakui hidup di rumah memang lebih menyenangkan. "Waktu ibu saya masih hidup dan bapak belum menikah lagi, saya memilih tinggal di rumah. Sekarang, walaupun bapak kadang mencari dan meminta saya pulang tapi saya tidak mau," katanya. Tidak berbeda jauh dengan keadaan Januar, seorang bocah cilik berusia sepuluh tahun bernama Taufik Rohim, mengaku lebih suka hidup menggelandang bersama teman-temannya di stasiun Jatinegara karena merasa tidak lagi mendapat perhatian dari orang tua di rumah. "Setelah ibu meninggal, bapak jadi jarang pulang dan jarang kasih duit. Lebih baik saya tinggal di stasiun bersama teman-teman. Di sini saya bisa cari duit sendiri," katanya. Menurut anak berusia 10 tersebut kehidupan ekonomi keluarganya yang selama ini pas-pasan membuatnya sangat gembira ketika bisa mendapatkan duit sendiri, sekaligus mendapatkan perhatian dari teman-teman sesama gelandangan seusianya dalam bentuk persahabatan. "Saya punya keluarga baru yang lebih menyenangkan di sini, saya nggak mau pulang," katanya. Lain taufik, lain pula Juliandri, rekan kerja Taufik saat mengemis. Dia berharap hidup dijalanan akan membuat cita-citanya selama ini menjadi kenyataan. "Saya ingin menjadi penyanyi dangdut kaya Meggy Z," katanya. Menurut bocah yang mengaku bisa membaca walau terbata-bata tersebut, mengemis dan terkadang mengamen menyanyikan lagu dangdut dengan baik di stasiun, akan mempertemukannya dengan seorang pendengar yang mau mengajaknya masuk ke dapur rekaman. "Siapa tahu saya ketemu manajer musik dangdut yang bisa mengorbitkan saya, atau mengajak saya ikut kontes dangdut seperti yang ada di televisi yang saya tonton di warung depan stasiun," katanya. Menanggapi hal tersebut, pemerhati anak dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation yang bergerak di bidang anak-anak, Ratna Megawangi, mengatakan seorang anak menjadi tidak nyaman di rumah, bukan hanya karena kondisi keluarga yang kurang mampu. "Perhatian dan pendidikan yang kokoh dari keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anak, apabila di rumah suasananya menyenangkan bagi anak, mereka tidak akan mencari rasa aman di luar rumah. Keluarga yang kurang mampu bukan berarti tidak bisa membangun suasana yang nyaman bagi anak," katanya. Menurut dia, orang tua sangat berperan penting dalam membuat suasana nyaman di rumah, sehingga anak merasa betah dan hak untuk mendapat perhatian dari kedua orang tuanya terpenuhi. Dikatakannya pula, sebagian anak jalanan dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang broken home. "Anak jalanan biasanya menjadi liar karena dibesarkan dari lingkungan keluarga yang bisa dibilang berantakan, hal tersebut membuktikan kegagalan orang tua untuk mendidik anak terutama kurangnya perhatian untuk anak," kata Ratna. Menurut dia, untuk menghadapi kondisi anak jalanan semacam itu perlu dibentuk sekolah khusus bagi anak jalanan. "Buatlah sekolah yang benar-benar menyenangkan bagi mereka, tetapi lebih fokus pada pengajaran mengenai keterampilan agar mereka bisa mengaplikasikannya pada kehidupannya mendatang," katanya.(*)

Oleh Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006