Jakarta (ANTARA) - Penyedia jasa konsultasi selama ini menjadi tulang punggung bagi perekonomian, karena dari sektor itulah tercipta infrastruktur, baik berupa prasarana maupun sarana.

Kehadiran jaringan commuter line (kereta rel listrik), MRT, LRT, bahkan kereta cepat, dan lain sebagainya, tidak lepas dari peran konsultan, yang dalam hal ini konsultan perencana.

Hanya saja, data menunjukkan, meski belanja untuk pembangunan infrastruktur terus mengalami kenaikan, namun jumlah konsultan dari tahun ke tahun justru mengecil.

Belanja infrastruktur RAPBN 2024 mencapai Rp399,6 triliun atau naik 5,8 persen di banding belanja infrastruktur tahun 2023, namun Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) menyebut jumlah konsultan nasional terus menurun.

Pada 2021, anggota, baik perorangan maupun badan usaha, tercatat masih 8.400, namun pada tahun 2022 tinggal 6.500, dan tahun 2023 ini tinggal 4.000.

Tentunya hal ini menjadi fenomena yang aneh, saat belanja infrastruktur terus mengalami kenaikan, tetapi pada sisi lain, seolah-olah kalangan konsultan tidak bisa memanfaatkan peluang tersebut.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) INKINDO Erie Heryadi, kesulitan untuk mengikuti proses tender, terutama untuk proyek konstruksi, menjadi salah satu kendala mengapa jumlah konsultan menyusut.

Sebagai contoh, dalam tender tenaga ahli konsultan yang mensyaratkan nilai pengalaman tertinggi (NPT). Hal ini membuat hanya perusahaan tertentu saja yang bisa ikut tender, sedangkan yang lainnya hanya menjadi penonton.

Menghadapi fenomena seperti ini tentunya perusahaan konsultan, terutama berskala kecil, hanya memiliki dua pilihan, bergabung atau membubarkan usahanya. Fakta ini juga yang membuat jumlah anggota di INKINDO malah turun.

Angka-angka tersebut belum melihat asosiasi konsultan lainnya, pastinya juga menghadapi problema yang sama, mengingat aturan yang dihadapi juga sama dan belum mengalami perubahan.
Seluruh capres dan cawapres dalam debat menyatakan komitmennya untuk membangun infrastruktur. ANTARA/ HO-Paramount

Apabila penyedia jasa konsultan ini bertumbangan, maka dampaknya bagi iklim usaha menjadi tidak sehat. Karena tentunya akan menjadi pintu masuk perusahaan konsultan asing untuk menggarap proyek-proyek tersebut.

Memang aturan mensyaratkan konsultan asing tidak diperkenankan untuk ikut langsung menggarap proyek pemerintah. Mereka harus menjalin mitra dengan konsultan dalam negeri atau lewat kerja sama operasi (KSO) agar bisa ikut serta.

Namun melihat kondisi demikian tentunya bukan hal yang diinginkan mengingat yang dijual untuk jasa konsultan adalah tenaga ahli dengan tingkat pendidikan S1 ke atas.

Patut juga diingat dari segi kemampuan tenaga ahli di Indonesia tidak kalah dengan asing. Sebagai contoh, untuk jasa perencanaan dan pengawasan, bahkan banyak juga yang jebolan dari perguruan tinggi di luar negeri


Capres

Beruntung dalam debat capres dan cawapres, program pembangunan infrastruktur masih menjadi prioritas pada pemerintahan ke depan.

Program infrastruktur menjadi unggulan dari masing-masing capres dan cawapres. Meski usulan untuk mewujudkan infrastruktur beragam, ada yang lewat APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, dan investor, dan banyak lainnya.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Provinsi Khusus Jakarta yang diarahkan kepada kota global tidak terlepas dari peran serta konsultan di dalamnya.

Artinya perusahaan jasa konsultan di Indonesia seharusnya masih memiliki peluang yang cerah. Hanya saja, seperti diutarakan INKINDO, iklim berusaha, khususnya bagi tenaga konsultan, yang harus ditinjau kembali.

Hal ini tidak hanya berlaku kepada penyedia jasa konsultan di bidang konstruksi saja, tetapi juga non-konstruksi. Sebagai contoh, konsultan di bidang pemerintahan, politik, sosial, dan sebagainya.

Sepatutnya kenaikan APBN dan APBD ini juga dinikmati pelaku usaha di Indonesia, termasuk dalam hal ini penyedia jasa konsultasi di seluruh pelosok Indonesia.

Menurut Sekjen DPN INKINDO Imam Hartawan dengan terciptanya iklim berusaha yang sehat bagi penyedia jasa konsultan tentunya akan membantu pemerintah juga dalam meningkatkan penerimaan pajak.

Hal ini karena setiap pekerjaan jasa konsultasi di bidang konstruksi selalu dikenakan pungutan pajak. Namun dengan terciptanya iklim yang kondusif, maka dapat dipastikan pemerintah juga mendapat pemasukan yang positif dari pajak.

Kepastian hukum juga menjadi pertimbangan dalam menggarap proyek pemerintah. Banyak peraturan yang harus diikuti, sehingga terkadang dalam pelaksanaan banyak dari perusahaan konsultan yang tersangkut persoalan hukum.

Hal ini bisa dimengerti mengingat untuk pekerjaan konsultan di lingkungan pemerintahan, tentunya menggunakan dana APBN dan APBD, maka setiap selesai pelaksanaan dilakukan pemeriksaan.

Dalam pemeriksaaan ini terkadang perusahaan konsultan tersangkut persoalan hukum. Banyak juga dari perusahaan konsultan pada akhirnya beralih menggarap proyek swasta yang persyaratannya dinilai lebih longgar.


Pendekatan

Terkait hal itu, kepada capres dan cawapres ke depan perlu memperhatikan aspek dalam tataran mikro tidak sekadar makro terkait dalam pembangunan infrastruktur.

Sebut dalam pembangunan infrastruktur tahun 2025 bakal digelontorkan sekian triliun, maka output (keluarannya), selain dalam wujud barang (aset) juga dalam bentuk penyerapan tenaga kerja dan tentunya penerimaan pajak.

Pimpinan ke depan harus bisa memahami secara detail penganggaran hingga tahap pencairan serta pelaksanaan di lapangan, terutama untuk proyek infrastruktur.
Diperkirakan belanja infrastruktur mulai dari 2024 hingga 2025 terus meningkat. ANTARA/ HO-Harmoni

Bisa saja persoalan ini tidak hanya dialami penyedia jasa konsultan, tetapi juga menyeluruh kepada penyedia jasa konstruksi (kontraktor).

Melihat rekam jejak dari masing-masing capres yang memang sudah akrab dalam penggunaan anggaran seperti persoalan itu, bahkan mendapat perhatian dan bisa segera diselesaikan.

Pembenahan di lapangan dapat dimulai dari memberikan kepastian hukum. Kalau perlu pelaksana anggaran bisa menggandeng Kejaksaan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memastikan dalam pelaksanaannya tidak ada sangkutan hukum.

Pemerintah ke depan juga perlu memosisikan diri, bukan sekadar sebagai pengambil kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur, tetapi juga mengedepankan fungsi pembinaan, terutama bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.

Artinya, dalam debat berikutnya, pembangunan infrastruktur seharusnya dapat dipertajam. Tidak hanya di tataran permukaan, tetapi juga sudah melihat persoalan di lapangan.

Harus dipastikan dalam pembangunan infrastruktur ini hasilnya dapat dirasakan seluruh masyarakat serta hasil akhirnya adalah peningkatan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023