Bamako (ANTARA News) - Hasil putaran pertama pemilihan umum presiden Mali akan diumumkan Jumat, sehari lebih lambat dari yang diperkirakan, kata kantor presiden, Kamis.

Tidak ada penjelasan yang diberikan bagi penundaan itu, yang disampaikan di akun Twitter kepresidenan.

Namun, seorang pejabat pelayanan administrasi teritorial mengatakan, penghitungan suara masih belum selesai setelah pemungutan suara pada Minggu.

Hasil awal menunjukkan Selasa bahwa mantan Perdana Menteri Ibrahim Boubacar Keita memimpin perolehan suara, dan Menteri Dalam Negeri Moussa Sinko Coulibaly mengatakan, tidak diperlukan babak kedua pemungutan suara pada 11 Agustus jika kecenderungan itu terus berlanjut.

Namun, partai saingan Keita, Soumaila Cisse, mengatakan, Rabu, pemilu itu dinodai oleh "pengisian suara", suatu bentuk kecurangan dimana pemilih memberikan suara ganda selama pemungutan suara yang hanya mengizinkan satu suara untuk satu orang.

Uni Republik dan Demokrasi (URD) menuduh kementerian Coulibaly "gagal dalam tugasnya" dan menuntut agar ia dipecat.

Meski ada 27 calon dalam pemilihan presiden itu, para analis menganggap pemilu itu sebagai persaingan antara dua tokoh. Keita dipandang sebagai unggulan utama di depan Cisse, seorang mantan menteri keuangan dan pernah menjadi ketua Komisi Uni Moneter dan Ekonomi Afrika Barat.

Pemilihan umum presiden itu dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika barat yang dilanda perang itu.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013