Yogyakarta (ANTARA) - Ahmad Nasrodin tampak antusias menjelaskan kepada para tamu yang terdiri dari awak media tentang seluk-beluk perkebunan kakao di Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Nglanggeran yang sebelumnya dikenal sebagai desa tertinggal, kini telah berubah menjadi desa berkembang sebagai "Desa Devisa" dengan komoditas utamanya cokelat

Total luas perkebunan kakao di desa ini sebenarnya tak begitu luas, hanya 10,2 hektare (ha), atau sekitar 5.325 pohon kakao yang dikelola oleh 96 warga. Dari pohon tersebut yang berbuah juga hanya sekitar 3.000 pohon dengan produksi 1,5 - 2 kuintal biji kakao per bulan. 

 Ahmad Nasrodin yang juga Ketua Koperasi Amanah Doga Sejahtera ini menjelaskan bahwa Desa Nglanggeran memang telah lama dikenal sebagai penghasil kakao di Yogyakarta. Namun demikian, karena keterbatasan ilmu tentang pengolahan dan pemasaran membuat produk kakao Gunungkidul belum begitu berkembang.

Desa Nglanggeran sendiri awalnya merupakan kawasan tertinggal. Tapi, setelah Gunungkidul ditetapkan sebagai kawasan pariwisata gunung purba, desa ini menjadi salah satu rute yang cukup banyak dilewati para wisatawan. Melihat ada potensi tersebut, Ahmad Nasrodin bersama dengan warga mencoba membuat merek cokelat produk daerah sekitar Omah Kakao Doga pada tahun 2017.

Rintisan itu ternyata terus berlanjut dan berkembang hingga kemudian unit usaha tersebut menggandeng Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)  untuk mulai meniti jalan menembus pasar global.


Sebagai Desa Devisa

Di pondok koperasi yang sederhana, Ahmad menceritakan awal mula Desa Nglanggeran menjadi Desa Devisa. Dengan merek Omah Kakao Doga, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) ini memproduksi berbagai produk cokelat hasil dari fermentasi kakao. Beberapa variasi produk yang dihasilkan yakni permen cokelat, brownis cokelat, cokelat mete, cokelat kacang, cokelat jahe, ampyang cokelat, cokelat susu dan aneka minuman cokelat siap saji lainnya.

Dulu, bubuk cokelat hasil fermentasi rata-rata hanya dijual seharga Rp20 ribu per kilogram (kg). Untuk itu, kemudian dibuatlah produk fermentasi kakao menjadi cokelat siap konsumsi.

Kendati demikian, para petani kakao masih resah, karena hasil penjualan yang belum bisa dikatakan menguntungkan. Proses fermentasi beserta pemasarannya dinilai masih belum maksimal. Ini yang membuat warga desa enggan untuk mengembangkan usaha perkebunan kakaonya.

Sambil memegang contoh produk ampyang cokelat Omah Kakao Doga, Ahmad juga bercerita bahwa warga sekitar sebenarnya merupakan "petani gurem". Istilah ini digunakan terhadap petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Setiap orang di Desa Nglanggeran memiliki lahan yang tak begitu luas. Untuk itu, Ahmad lebih sering menyebut warga sekitar sebagai “penanam kakao”, bukan “petani kakao”.

"Tidak mungkin luas segitu kita akan sejahtera, tidak mungkin. Kecuali ada cara lain. Kebetulan dulu dikelola manual, belum punya ilmunya. Dulu dipetik, kita keringkan, lalu dikelola. Kita pernah diajari dinas pertanian cara fermentasi yang baik, tapi belum bisa meningkatkan nilai ekonominya," ujar Ahmad.

Di tengah kebuntuan upaya Omah Kakao Doga untuk terus memasarkan cokelat-cokelat berkualitas, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menaruh perhatian pada salah satu UMKM tersebut. Melihat potensi dari Omah Kakao Doga di Desa Nglanggeran, LPEI menjadikan Desa Nglanggeran sebagai Desa Devisa Gunungkidul pada 19 Mei 2023. Dengan adanya penetapan itu, LPEI memberikan pembinaan secara berkelanjutan tentang cara mengelola hingga memasarkan produk cokelat Omah Kakao Doga.

Berkat pendampingan itu, Ahmad bersama para petani mengaku kini dapat mengelola kakao Gunungkidul tak sekadar menjadi bubuk saja, melainkan juga lemak cokelat. Sembari menunjukkan contoh lemak cokelat yang dimaksud, Ahmad menjelaskan bahwa lemak inilah yang diminati oleh produsen cokelat di luar negeri, salah satunya warga negara Swiss yang bernama Vincent.

Hingga saat ini, karena suka akan rasa dan kualitas lemak cokelat olahan Omah Kakao Doga, Vincent menjadi pembeli tetap lemak cokelat buatan warga Desa Nglanggeran guna dijadikan bahan baku cokelat batangan dengan merek Monnier.

“Sudah ada dua orang asing yang ke Desa Nglanggeran. Jadi kita jatah minimal per minggu itu 10 kg ke cokelat Monnier dengan harga Rp60 ribu per kilogramnya. Tetapi Mr. Vincent tetap mau mengambil cokelat walaupun hanya ada 1 kg,” katanya menjelaskan.

Kendati ekspor baru melalui pihak ketiga atau indirect export, Ahmad beserta warga desa lainnya cukup senang karena penjualan produk Omah Kakao Doga semakin meningkat, terutama untuk bubuk dan lemak cokelat. Dari 3 kg kakao dapat diolah menjadi 1 kg bubuk yang dihargai Rp250 ribu. Sedangkan untuk lemak cokelat, dari 5 kg biji kakao mampu menghasilkan 700 gr dengan harga per kg Rp175 ribu. Saat ini, Omah Kakao Doga mampu menghasilkan omzet sekitar Rp2 juta sampai dengan Rp4 juta per bulan.
Petani yang tengah memanen buah kakao di Desa Nglanggeran, Yogyakarta (ANTARA/H0-LPEI)


Kepala Departemen Pengembangan Komoditas & Industri LPEI Nilla Meiditha menjelaskan bahwa program Desa Devisa Gunungkidul sendiri merupakan hasil kolaborasi Kemenkeu Satu yang mencakup Kementerian Keuangan (Kemenkeu), PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) dan LPEI bersama dengan Koperasi Amanah Doga Sejahtera sebagai BUMDES.

Penetapan Desa Nglanggeran sebagai Desa Devisa merupakan langkah yang tepat mengingat dengan memadukan antara daya tarik wisata Gunungkidul dan juga produk cokelat, akan turut menyejahterakan warga sekitar sekaligus membantu Omah Kakao Doga untuk mulai go international.

Oleh karena itu, LPEI mulai memberikan pelatihan manajemen ekspor, pendampingan akses pasar, peningkatan kapasitas produksi, dan pendampingan terkait sertifikasi organik kepada 60 petani kakao di Desa Nglanggeran. Kegiatan ini dilandasi harapan dapat membantu Desa Devisa Gunungkidul untuk memperluas akses pasar ekspor, meningkatkan kapasitas produksi, serta memenuhi persyaratan sertifikasi yang dibutuhkan oleh pasar. Dengan adanya pendampingan itu, ke depannya warga Desa Nglanggeran mampu melalukan ekspor secara mandiri.

Produksi dan omzet Omah Kakao Doga kini menunjukkan kecenderungan meningkat. Untuk itu, para pengelola Omah Kakao Doga kini berusaha meningkatkan produksi kakao yang saat ini hanya mencapai 20 ton per tahun, dengan mengatasi keterbatasan lahan. Selain itu, diharapkan tidak banyak tengkulak memainkan harga kakao mereka.

 LPEI menjadi salah satu pendorong di balik langkah awal produk kakao Gunungkidul  membuka peluang pasar global.  Melalui bimbingan dan dukungan LPEI, tangan-tangan petani terampil dan gigih dalam wadah Koperasi Amanah Doga Sejahtera, mampu membuat  aroma harum kakao Gunungkidul menyeruak ke seluruh dunia.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023