Jakarta (ANTARA News) - Ibu terpidana mati kasus Bom Bali I Imam Samudra, Embay Badriyah, meminta dirinya ikut ditembak bersama putranya yang disebut-sebut akan dieksekusi pada 22 Agustus 2006. "Beberapa hari lalu, Embay yang biasa dipanggil Ummi menyampaikan permintaan, apa bisa dia ditembak mati juga seperti putranya," kata Agus Setyawan, kuasa hukum Imam Samudra yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) kepada wartawan di Jakarta, Jumat sore. Sepanjang pekan ini, Kejaksaan Negeri Denpasar mengirimkan surat kepada keluarga dan kuasa hukum Amrozy dan Ali Gufron di Lamongan, Jawa Timur, serta untuk keluarga Imam Samudra di Banten, tentang rencana eksekusi ketiganya pada tanggal 22 Agustus mendatang. Ummi, kata Agus, juga meminta maaf kepada pekerja media yang mengejarnya namun tidak berhasil menemuinya karena kondisi kesehatannya yang buruk. "Jadi, Ummi bukan menghindar," kata Agus. Agus, yang mengaku dirinya tidak tega mendengar dan menyampaikan permintaan Ibunda Imam Samudra itu mengatakan, Ummi meminta ditembak mati seperti putranya karena menilai proses keadilan terhadap Imam Samudra alias Abdul Azis belum cukup atau terhambat. Menurut Ummi, kata Agus, putranya dihukum mati tanpa ada dasar hukum positif terkait undang-undang yang diberlakukan secara retroaktif (berlaku surut). Sementara itu, Koordinator TPM Mahendradatta mengatakan, Kejaksaan tampak terlalu bernafsu dengan rencana mengeksekusi tiga terpidana mati kasus Bom Bali I mengingat kliennya itu belum mengajukan upaya hukum luar biasa. Mahendra mengaku, pihaknya akan mengajukan PK bukan untuk menyelamatkan nyawa Amrozy, Imam Samudra maupun Ali Gufron tetapi untuk penegakan konstitusi dan asas hukum pidana Indonesia. Surat Kuasa untuk pengajuan PK, kata Mahendra, telah diterimanya sejak November 2005 dan berkas PK tersebut telah siap untuk diajukan. Berkas PK yang akan diajukan TPM mewakili tiga terpidana mati itu, menurut Mahendra, berbeda dengan PK perkara biasa melainkan PK Khusus terkait penegakan Konstitusi Republik Indonesia dan asas Hukum Pidana. Dalam pengadilan terhadap kliennya, lanjut dia, telah terjadi pelanggaran prinsip Hukum Pidana karena menggunakan UU No 15 Tahun 2003 tentang terorisme yang belum diresmikan saat terjadinya peristiwa Bom Bali pada Oktober 2003. Lebih lanjut ia mengatakan, "Pelanggaran konstitusi dalam kasus yang terjadi atas klien kami itu merupakan preseden buruk dalam sejarah hukum Indonesia dimana seseorang dapat dihukum mati tanpa ada dasar hukum positifnya." (Foto: Imam Samudra) (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006