Jakarta (ANTARA) - Salah satu ketentuan yang diatur dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang mulai berlaku pada 2 November 2020, adalah mengenai pertanahan yang dimuat dalam Bagian Keempat UU Cipta Kerja.

Undang-Undang mengenai Pertanahan ini mengatur kewenangan negara dalam mengatur peruntukan, penggunaan, dan pengelolaan tanah.

Pengaturan mengenai pertanahan berinduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang secara fungsional kewenangan negara dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN.

Berdasarkan UUPA dimaksud negara mempunyai hak untuk mengatur peruntukan tanah, baik untuk kepentingan masyarakat sebagai individu maupun untuk kepentingan umum, perlu mendapat perhatian dan perlakuan yang seimbang dan adil.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait pertanahan, di Indonesia dibentuk Badan Bank Tanah sebagai badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Selain itu pembentukan Badan Bank Tanah bertujuan untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.

Pengaturan mengenai bank tanah ini diharapkan dapat menjembatani keperluan negara untuk memenuhi kebutuhan atas tanah, seperti untuk pembangunan proyek strategis nasional berupa jalan tol, waduk, bendungan atau untuk pembangunan infrastruktur lainnya yang menyangkut kepentingan umum.


Peran

Tanah yang berada dalam penguasaan Badan Bank Tanah selanjutnya akan diberikan status hak pengelolaan, dan atas hak pengelolaan ini dapat diberikan status hak atas tanah, berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang sesuai dengan peruntukan atas tanah tersebut.

Selaras dengan tujuan dari dibentuknya bank tanah itu sendiri, hak pengelolaan yang dimiliki oleh Badan Bank Tanah dapat diberikan kepada instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Bank Tanah itu sendiri, BUMN/BUMD, lembaga badan hukum milik negara, badan hukum milik daerah, serta badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Badan Bank Tanah saat ini dapat dianggap sebagai bentuk reformasi dalam pengadaan tanah bagi pembangunan di Indonesia.

Bank tanah mengambil peran penting dalam mengatasi berbagai masalah selama proses pengadaan tanah, di antaranya keterbatasan lahan, proses pembebasan dan penataan lahan, transparansi dalam pengadaan tanah, serta penyimpanan dan pengelolaan data tanah.

Terkait masalah keterbatasan lahan, bank tanah dapat berperan dalam mengoordinasikan penggunaan dan pemanfaatan lahan dengan lebih efisien, sehingga dapat mengatasi keterbatasan tersebut.

Dalam proses pembebasan dan penataan lahan, Badan Bank Tanah dapat membantu memfasilitasi proses pembebasan lahan dengan memberikan solusi yang komprehensif, seperti mengoordinasikan pembebasan lahan, melakukan negosiasi dengan pemilik lahan, dan mempercepat proses secara hukum.

Sementara untuk transparansi dalam pengadaan tanah, Badan Bank Tanah dapat berperan dalam menyediakan informasi yang akurat dan terbuka tentang proses pendataan, penilaian, dan pembayaran ganti rugi tanah.

Bank tanah juga dapat menyediakan platform penyimpanan dan pengelolaan data tanah dengan menggunakan teknologi informasi, sehingga memudahkan akses dan pemanfaatan informasi tanah secara efisien, serta memudahkan proses pengadaan tanah untuk pembangunan.

Best Practice

Badan Bank Tanah merupakan konsep dan lembaga baru yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan pada tahun 2020. Meskipun demikian, apabila menilik ke belakang, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan aspek pengadaan tanah dan reformasi agraria di Indonesia, yang dapat memberikan wawasan terkait potensi dan tantangan Badan Bank Tanah.

Penelitian oleh World Bank pada 2013 menyatakan bahwa pengadaan lahan dan penilaian ganti rugi adalah salah satu aspek yang paling kritis dalam pembangunan di Indonesia.

Pengadaan lahan yang tidak efisien dan tidak adil seringkali menjadi kendala dalam implementasi proyek pembangunan, sehingga menyebabkan keterlambatan dan peningkatan biaya proyek.

Penelitian oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa institusi pengadaan tanah di Indonesia masih terfragmentasi dan tidak terkoordinasi dengan baik. Adanya berbagai lembaga terkait, seperti ATR/BPN, Bappenas, dan Kementerian Keuangan, seringkali menyebabkan tumpang tindih dan tidak efisien dalam pengadaan tanah.

Penelitian oleh Leyla Ates dan Martijn van der Kamp (2009) dalam jurnal Land Use Policy menyimpulkan bahwa reformasi agraria di Indonesia membutuhkan kebijakan yang mencakup aspek pengadaan tanah yang lebih baik dan efisien. Salah satu elemen kritis dalam reformasi agraria adalah perencanaan pengadaan tanah yang baik dan akurat, termasuk pengaturan yang jelas mengenai pembebasan lahan yang adil.


Penguatan

Beberapa langkah penguatan dapat dilakukan oleh Badan Bank Tanah dalam menghadapi permasalahan agraria di Indonesia berdasarkan peran dan tantangan.

Pertama, Badan Bank Tanah perlu menjalin kerja sama yang baik dengan institusi terkait, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Bappenas, Kementerian Keuangan, dan lembaga lainnya. Kerja sama ini harus berorientasi pada pencapaian tujuan reformasi agraria yang lebih efektif dan efisien.

Kedua, bank tanah harus memiliki data yang akurat, terkini, dan terinci tentang tanah yang ada di Indonesia. Data tersebut mencakup informasi tentang kepemilikan tanah, penggunaan lahan, kondisi fisik tanah, dan informasi lainnya yang diperlukan untuk pengadaan tanah yang adil dan efisien.

Ketiga, menerapkan teknologi informasi dan sistem basis data yang canggih dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan data, penilaian ganti rugi, dan proses pengadaan tanah secara keseluruhan. Penggunaan teknologi informasi juga dapat mempercepat dan memudahkan akses informasi bagi publik.

Keempat, bank tanah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai peran dan fungsi lembaga ini dalam pengadaan tanah. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya reformasi agraria dan manfaat yang dapat diperoleh dari Badan Bank Tanah.

Kelima, penilaian ganti rugi yang adil. Pengadaan tanah seringkali menghadapi kontroversi terkait penilaian ganti rugi yang tidak adil. Badan Bank Tanah dapat memperbaiki proses penilaian ganti rugi dengan mengacu pada standar yang jelas, transparan, dan adil. Hal ini akan membantu menciptakan keadilan bagi pemilik tanah yang terdampak dan mendorong dukungan masyarakat terhadap reformasi agraria.

Keenam, Badan Bank Tanah perlu memiliki sumber daya manusia yang kompeten dan terlatih dalam bidang pengadaan tanah, hukum pertanahan, evaluasi proyek, dan manajemen data. Penguatan kapasitas dan pelatihan reguler akan meningkatkan kualitas pelayanan dan keahlian dalam menjalankan tugas-tugas Badan Bank Tanah.
 

*) Lucky Akbar adalah ASN pada Kementerian Keuangan

 

Copyright © ANTARA 2024