Dari 17 gunung api aktif di Pulau Flores dan Lembata, satu gunung api sudah berstatus Siaga dan tiganya berstatus Waspada
Kupang (ANTARA) - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) melalui Balai Pemantauan Gunung Api dan Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Nusa Tenggara menyebutkan adanya satu gunung api di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada pada level III atau Siaga, sedangkan tiga gunung api lainnya berstatus Waspada atau level II.

"Dari 17 gunung api aktif di Pulau Flores dan Lembata, satu gunung api sudah berstatus Siaga dan tiganya berstatus Waspada," kata Kepala Balai Pemantau Gunung Api dan Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Nusa Tenggara, Zakarias Ghele Raja di Kecamatan Wulanggitang Flores Timur, Senin.

Zakarias menjelaskan, satu gunung api yang berstatus Siaga atau berada pada level III itu yakni Gunung api Lewotobi Laki-laki di Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. Status gunung ini baru dinaikkan dari level II atau Waspada pada pukul 04.00 Wita dini hari tadi.

Selanjutnya tiga gunung api yang berstatus Waspada yakni Gunung api Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, Inelika di Kabupaten Ngada, dan Lewotobi Perempuan di Flores Timur.

Gunung Ile Lewotolok sebelumnya berstatus Siaga, namun status gunung itu diturunkan pada 28 Desember 2022 menjadi Waspada.

Sementara itu Gunung Inelika yang sebelumnya berstatus Normal atau berada pada level I mengalami peningkatan  status menjadi level II atau Waspada pada 4 Oktober 2023.

Kenaikan status itu didasarkan pada adanya peningkatan aktivitas kegempaan yang menunjukkan kenaikan tekanan di bawah tubuh gunung itu yang dapat memicu munculnya gempa-gempa vulkanik dan erupsi freatik.

"Sedangkan kenaikan status gunung api Lewotobi Perempuan menjadi Waspada terjadi pada 17 Desember 2023 lalu," kata Zakarias.

Dengan kenaikan status empat gunung api aktif itu, Zakarias mengatakan ada beberapa potensi bahaya yang harus dijauhi oleh masyarakat yakni abu vulkanik, awan panas, serta gas beracun yang keluar.

Oleh karena itu, masyarakat di sekitar gunung harus menjauh dari pusat erupsi gunung atau tidak melakukan aktivitas di sekitar gunung. Hal itu harus dilakukan karena kecepatan pergerakan magma yang secara tiba-tiba di perut bumi sangat susah diantisipasi.

"Memang pergerakan magma dari sumber magma dapat diketahui melalui frekuensi gempa vulkanik, namun kecepatan magma secara tiba-tiba itu sulit dihindari," katanya.

Pewarta: Fransiska Mariana Nuka
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024