Jakarta (ANTARA) - Konferensi para pihak konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (Conference of the Parties 28, COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab, sebulan lalu, pada awal Desember 2023, menghasilkan keputusan penting bagi dunia.

Di negara pengekspor bahan bakar fosil terbesar di dunia itu, pemimpin dunia justru sepakat meneken perjanjian untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Perjanjian ini mengamanahkan negara-negara untuk beralih dari bahan bakar fosil secara teratur dan berkeadilan untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050.

Sejarah mencatat, ini pertama kalinya pertemuan COP secara eksplisit mendeklarasikan untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil.

Kesepakatan di Dubai juga berdampak pada sektor pertanian dengan dihasilkannya Deklarasi UAE COP-28 tentang Pertanian Berkelanjutan, Sistem Pangan Tangguh, dan Aksi Iklim.

Pertanian terkait erat dengan perubahan iklim baik sebagai subyek penyebab sekaligus sebagai obyek yang terkena dampak perubahan iklim.

Aktivitas pertanian diyakini sebagai sumber emisi gas rumah kaca sekaligus sebagai industri yang paling rentan terganggu karena perubahan iklim.
Deklarasi tersebut ditandatangani 159 negara sehingga mendapat perhatian besar.

Negara yang menandatangani mewakili hampir 80 persen dari luas daratan dunia termasuk negara-negara produsen pangan utama seperti Australia, Brasil, China, Uni Eropa, Rusia, Indonesia, dan Amerika Serikat.

Inti deklarasi berkaitan dengan strategi yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan iklim bagi petani dan produsen pangan.

Deklarasi juga menyepakati komponen-komponen kunci yang mencakup penyediaan dukungan keuangan, peningkatan infrastruktur, dan peningkatan inovasi dalam pertanian untuk menjamin ketahanan pangan, terutama bagi kelompok rentan.

Deklarasi Dubai juga menekankan perlunya mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan, termasuk langkah-langkah untuk meningkatkan kesehatan tanah, melestarikan dan memulihkan lahan dan ekosistem alami, serta meningkatkan keanekaragaman hayati.

Pergeseran menuju praktik produksi dan konsumsi yang berkelanjutan ditekankan sebagai langkah penting dalam mengurangi dampak lingkungan pertanian dan sistem pangan. Pengurangan kerugian dan pemborosan pangan muncul sebagai prioritas utama.

Pertanian, pangan, dan emisi gas rumah kaca
Tentu masih banyak masyarakat umum bertanya hubungan antara pertanian, pangan, dengan emisi CO2 dan perubahan iklim?

Beberapa pemerhati berpendapat pertanian justru membantu mengurangi CO2 melalui fotosintesis, namun pandangan ini terlalu simplistik.

Fotosintesis yang berasal dari hutan alami menyerap CO2 dan telah mencapai keseimbangan dengan ekosistem, sehingga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang minimal.

Namun, fotosintesis dari lahan dengan tanaman pangan menyerap CO2 yang lebih sedikit dibanding hutan dan juga menghasilkan gas rumah kaca yang lebih tinggi.

Sebenarnya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia berasal dari berbagai polutan iklim dengan gas CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (nitrous oxide) sebagai tiga kontributor terbesar pemanasan global.

Sistem pangan global, yang mencakup apa yang manusia konsumsi dan bagaimana manusia menanam, memproduksi, dan membuang makanan, bertanggung jawab sekitar 30 persen dari emisi tahunan karena pertanian dan produksi pangan terkait dengan ketiga gas ini. Terutama pertanian menghasilkan CH4 dan N2O yang berlebihan.

Emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (35 persen dari total emisi di Indonesia), diikuti oleh listrik (18 persen) dan pertanian (10 persen).

Oleh karena itu, untuk mencapai net zero, Indonesia harus berfokus pada pengurangan penyumbang terbesar yaitu perubahan penggunaan lahan dan perbaikan sistem pertaniannya.

Secara global, emisi pertanian berasal dari berbagai sumber, termasuk kegiatan pertanian (6,6 miliar ton CO2), perubahan penggunaan lahan (2,9 miliar ton CO2), penggunaan energi (4,9 miliar ton CO2), dan pemborosan makanan (1,3 miliar ton CO2).

Salah satu sumber emisi pertanian terbesar adalah produksi gas metana dari kegiatan peternakan, terutama melalui fermentasi enterik dalam proses pencernaan hewan, yang melepaskan metana, gas rumah kaca yang 80 kali lebih berbahaya dari CO2.

Metana menyumbang sekitar 39 persen dari emisi kegiatan pertanian dan peternakan. Sumber lain adalah kotoran hewan, yang pengurainnya dapat melepaskan emisi gas rumah kaca.

Emisi metana dan nitrous oxide juga berasal dari produksi tanaman. Budidaya padi, misalnya, berkontribusi pada emisi metana karena genangan air di sawah menginduksi proses dekomposisi anaerobik yang menghasilkan metana, yang membentuk 10 persen dari emisi pertanian.

Penggunaan pupuk nitrogen berlebihan mengarah pada produksi gas nitrous oxide, yang 300 kali lebih berpotensi dalam menyebabkan efek rumah kaca daripada CO2, berkontribusi 13 persen terhadap emisi pertanian.

Pengeringan dan pembakaran lahan gambut, yang terbentuk dari bahan organik, melepaskan karbon dioksida yang telah disimpan selama ribuan tahun.

Selain itu, perubahan penggunaan lahan, terutama deforestasi, menghasilkan emisi yang sangat tinggi. Deforestasi menghilangkan hutan alami yang sebelumnya menyerap jumlah CO2 yang signifikan.

Begitu pohon-pohonnya ditebang, ekosistem tersebut tidak lagi menyerap CO2, dan dekomposisi bahan organik tanah yang ditingkatkan melepaskan jumlah CO2 yang tinggi.


Pertanian dan net zero

Mengingat kontribusi signifikan pertanian terhadap emisi, melanjutkan pertanian seperti biasa tidak lagi dapat diterima.

Pertanian dapat memperburuk perubahan iklim, memengaruhi hasil panen, dan membuat petani berhadapan dengan peningkatan suhu, iklim ekstrem yang semakin intens seperti kekeringan, kebakaran, dan banjir.

Namun, pertanian memiliki potensi untuk menjadi bagian dari solusi. Deklarasi COP-28 tentang Pertanian Berkelanjutan, Sistem Pangan Tangguh, dan Aksi Iklim bertujuan untuk menggeser pertanian dari sumber masalah menjadi bagian dari solusi.

Meskipun deklarasi ini tidak memiliki target khusus dan mengandalkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi lokal, deklarasi ini menekankan perlunya perubahan kultur yang berkembang saat ini yang menjadi masalah.

Misalnya, emisi besar Indonesia dari perubahan penggunaan lahan memerlukan pengurangan deforestasi dan fokus pada peningkatan produksi di lahan pertanian yang ada sambil mengoptimalkan penggunaan lahan.

Memulihkan lahan yang telah terdegradasi untuk mengembalikan produktivitasnya adalah pilihan yang layak. Untuk mengurangi emisi metana dari lahan sawah, praktik genangan air yang dikurangi dapat diadopsi.

Mengoptimalkan penggunaan pupuk dapat mengurangi emisi N2O, terutama melalui subsidi pupuk. Mengadopsi praktik pengolahan tanah minimal dapat meminimalkan emisi karbon tanah, sedangkan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan karbon tanah.

Memperluas praktik pertanian berkelanjutan yang meningkatkan produksi tanaman dapat menjadi bagian dari jalur pemerintah menuju Net Zero.


Tanah sehat

Deklarasi COP-28 juga mencatat sejarah penting bagi kalangan ilmuwan ilmu tanah. Pertama kalinya terminologi ‘kesehatan tanah’ (soil health) disebutkan dalam deklarasi COP. Degradasi tanah yang nyaris tak dapat dihentikan, terutama akibat praktik pertanian intensif, memiliki dampak besar pada kesehatan manusia.

Pertanian intensif sudah mengurangi kapasitas produksi tanah, seperti hilangnya bahan organik tanah dapat mengurangi produksi tanaman.

Upaya menyehatkan tanah dengan mengembalikan bahan organik tanah dapat meningkatkan hasil tanaman secara signifikan serta menyehatkan manusia.

Degradasi tanah berkontribusi pada perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati yang secara tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia.

Perubahan iklim telah mengurangi panen dan diprediksi akan lebih intens mengurangi ketersediaan pangan global pada tahun 2050.

Kehilangan keanekaragaman hayati tanah dalam sistem pertanian intensif mengurangi produktivitas tanah, yang sangat penting untuk pengendalian penyakit, siklus hara, dan kesuburan tanah.

Meningkatkan kompleksitas keanekaragaman hayati tanah dapat mengembalikan ketahanan, efisiensi penggunaan hara, dan produksi tanaman.

Kemampuan untuk memproduksi pangan yang berkesinambungan bergantung pada pengendalian degradasi tanah dan menjaga kesehatan tanah.

Degradasi tanah bukan hanya memengaruhi produksi pangan, tetapi juga berkontribusi pada ketidakstabilan sosial dan politik. Sebagai contoh, konflik di Ukraina telah menyebabkan hilangnya tanah hitam yang subur penghasil pangan termasuk gandum.

Hal ini menyebabkan impor gandum Indonesia ikut terkena dampak, dan berdampak pada kenaikan harga pangan.

Terakhir, peran pertanian dalam emisi CO2 dan perubahan iklim ternyata kompleks. Meskipun berperan menyimpan karbon melalui fotosintesis, pertanian juga sumber signifikan emisi gas rumah kaca yang kuat.

Deklarasi COP-28 berpesan agar pertanian berkelanjutan dan sistem pangan perlu segera diperbaiki untuk mengurangi dampak perubahan iklim sehingga sejalan untuk mencapai emisi Net Zero.

Demikian pula tanah yang sehat berperan penting untuk kesehatan manusia dan bumi tempat manusia hidup.

Tanah sehat memberikan banyak fungsi untuk manusia sehingga menjaga kesehatan tanah penting untuk kesejahteraan manusia dan bumi yang berkelanjutan.


*) Penulis adalah guru besar ilmu tanah di The University of Sydney, Australia.

Copyright © ANTARA 2024