Surabaya (ANTARA News) - Keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tergolong kelompok radikal, dikritisi anak-anak muda dalam diskusi di NU Center untuk menyemarakkan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya, Minggu. Diskusi yang menampilkan ulama muda NU Jatim Dr KH Imam Ghazali Said MA, aktivis Lakpesdam PBNU, Zuhaeri Misrawi, dan Humas HTI Jatim dr H Usman itu, diantaranya membedah pandangan HTI terhadap NU. "Kelompok radikal, termasuk HTI, umumnya memandang NU sebagai kelompok yang sesat, bahkan HTI menilai NU sudah keluar dari Al-Qur`an dan Hadits Nabi serta tokoh-tokoh NU pun sering disudutkan," tegas Zuhaeri. Lain halnya dengan Imam Ghazali Said. "HTI dan NU itu memang berbeda metode berpikir. NU melihat dari dua sisi yakni istidlaly (deduktif) dan istiqroi (induktif), sedangkan HTI hanya melihat sisi istidlaly," katanya. Menurut pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya itu, metode berpikir istidlaly selalu membaca realitas masyarakat dengan Qur`an dan Hadits, kemudian yang tidak cocok dengan kedua acuan itu ditolak. "Sebaliknya, metode berpikir istiqroi itu membaca realitas kemasyarakatan secara dialektika dengan Qur`an dan Hadits, sehingga apa yang tak ada dalam kedua acuan itu tetap diterima, asalkan tidak ada larangan dari Qur`an dan Hadits itu sendiri, seperti wiridan atau tahlilan," paparnya. NU, katanya, akan menggunakan metode istidlaly untuk persoalan ibadah seperti salat atau haji yang memang tak dapat diotak-atik, sedangkan persoalan kemasyarakatan (muamalah) dikaji secara istiqroi. "Karena itu, pandangan HTI yang menyamakan penghormatan warga NU kepada kiai seperti halnya Yahudi yang menghormati pendeta adalah hal yang tak benar, karena memang tidak sama," ucapnya. Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menegaskan bahwa perbedaan metode berpikir itu pula yang membuat NU menerima negara nasional (NKRI), sedangkan HTI menganggap negara nasional sebagai Jahiliyah yang harus diganti dengan Khilafah. "Kalau memang tujuannya khilafah (kekuasaan), maka mereka berarti politis, meski mereka tidak mengakui," ungkapnya, menanggapi penolakan pandangan Humas HTI Jatim yang memosisikan HTI sebagai politis. Ia menyatakan khilafah itu pasti politis, karena kekuasaan memang begitu. "Bisa saja mereka tidak mengakui, tapi apa yang terjadi di Yordania membuktikan hal itu. Mungkin Hizbut Tahrir di Indonesia tidak tahu hal itu, tapi hal tersebut adalah fakta," ungkapnya. Sementara itu, kehadiran Alfamart di pesantren-pesantren yang berkedok sebagai koperasi, kembali disoal dalam sidang pleno pengesahan hasil komisi-komisi Munas Alim Ulama dan Konbes NU, Minggu malam. "Ritel milik perusahaan raksasa AS Philip Mooris yang telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia itu memusnahkan mata pencaharian kios-kios pracangan/kelontong. Jadi, mohon dipertimbangkan," kata Ketua PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006