Pihak yang diuntungkan dari peristiwa hari ini adalah mereka yang menyukai kekerasan, terorisme, dan kelompok-kelompok ekstrem
Kairo (ANTARA News) - Pembubaran perkemahan demonstran pendukung mantan Presiden Muhammad Moursi pada Rabu oleh pasukan keamanan Mesir berakhir ricuh, setidaknya 235 orang tewas, termasuk di antaranya 43 polisi, dan 2.000 lainnya luka-luka.

Bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan tidak hanya terjadi di Kairo tetapi meluas sampai ke kota-kota lain di Mesir.

Mantan Presiden Moursi mengatakan bahwa jumlah korban, dalam peristiwa yang dia sebut sebagai "pembantaian massal" itu, jauh lebih besar.

Sementara itu, pemerintah mengumumkan kondisi darurat nasional selama satu bulan dan memberikan kekuasaan tak terbatas kepada pihak militer selama periode tersebut.

Perdana Menteri Hazim al-Beblawi mengatakan penggunaan cara kekerasan oleh pihak keamanan tersebut sudah benar.

Dia juga mengecam Amerika Serikat dan Eropa dengan mengatakan pemerintah tidak mempunyai pilihan lain untuk mengakhiri "meluasnya aksi anarki."

Tindakan keras itu di sisi lain membuat Muhammad ElBaradei, mantan diplomat PBB dan salah satu pendukung kudeta terhadap Moursi, mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Dia mengatakan perseteruan antara demonstran dan pemerintah seharusnya dapat diselesaikan dengan cara damai.

"Pihak yang diuntungkan dari peristiwa hari ini adalah mereka yang menyukai kekerasan, terorisme, dan kelompok-kelompok ekstrem," kata ElBaradei.

Sebelumnya, ribuan pendukung Moursi telah berkemah di dua tempat terpisah di Kairo sejak 3 Juli. Mereka berjanji tidak akan membubarkan diri sebelum presiden dikembalikan ke kedudukannya semula.

Dengan membubarkan secara paksa perkemahan demonstran tersebut, pemerintah Mesir tidak menghiraukan imbauan internasional untuk menahan diri dan melakukan negosiasi guna mencari solusi politik.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton serta Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mengecam penggunaan kekerasan Mesir dan mendesak pemerintah di negara tersebut untuk segera mencabut kondisi darurat nasional.

Kekerasan pada awalnya dimulai di Kairo namun kemudian menyebar ke kota-kota lain seperti Iskandariyah (Alexandria), Minya, Assiut, Fayoum dan Suez, serta di provinsi Buhayra dan Beni Suef.

Tokoh dari kelompok Ikhwanul Muslimin, partai pendukung utama Moursi, Muhammad al Beltagi mengingatkan akan kemungkinan meluasnya konflik dan menyerukan pendukungnya untuk turun berdemonstrasi di jalanan melawan kepala militer yang telah menggulingkan Moursi.

"Demi Tuhan, jika kalian tetap berada di rumah, maka Abdul Fattah al-Sisi (pemimpin militer) akan membuat negara ini menjadi seperti Suriah. Dia akan memicu perang saudara," kata al Betagi.

Kekerasan pada Rabu ini adalah yang terburuk sejak Mesir berperang dengan Israel pada 1973.

Sekutu dari negara-negara Barat juga dipaksa untuk bereaksi keras terhadapnya, termasuk Amerika Serikat yang setiap tahunnya memberikan bantuan militer sebesar 1,5 milyar dolar AS.

"Amerika Serikat mengecam keras penggunaan kekerasan terhadap demonstran di Mesir. Kami mengucapkan duka cita yang mendalam kepada para keluarga korban. Kami juga telah berulang kali mendesak pasukan keamanan dan militer Mesir untuk menahan diri," kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest.

"Kami juga sangat tidak setuju dengan pengumuman kondisi darurat nasional dan menyeru kepada pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia yang paling dasar seperti kebebasan untuk berkumpul. Dunia sedang menyaksikan apa yang terjadi di Kairo," kata dia.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013