MLC juga merupakan regulasi yang merangkum semua ketentuan standar perburuhan internasional yang bertujuan memberikan perlindungan maksimal kepada para pelaut, menjamin hak-hak fundamental, dan menciptakan tata hubungan industrial yang baik dalam ind
Jakarta (ANTARA News) - Kesatuan Pelaut Indonesia mengharapkan penolakan dari Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia (INSA) dengan alasan kapal-kapal anggotanya belum siap hendaknya tidak dijadikan patokan bagi pemerintah untuk meratifikasi "Maritime Labour Convention" karena ILO akan memberlakukannya secara penuh mulai 20 Agustus 2013.

Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Minggu, menjelaskan "Maritime Labour Convention" (MLC) merupakan pilar ke-4 ketentuan normatif industri pelayaran di seluruh dunia.

Hal itu diterapkan secara bersama-sama dengan Safety of Life at Sea (SOLAS), Marine Pollution (MARPOL) dan Standars of Training, Certification and Watchkeeping (STCW), terutama oleh negara bendera kapal dan para petugas Port State Control (PSC) di setiap negara.

"MLC juga merupakan regulasi yang merangkum semua ketentuan standar perburuhan internasional yang bertujuan memberikan perlindungan maksimal kepada para pelaut, menjamin hak-hak fundamental, dan menciptakan tata hubungan industrial yang baik dalam industri pelayaran," kata Hanafi.

Dia menjelaskan, konvensi MLC mengatur semua hal dalam hubungan industrial pelaut, termasuk kewajiban pengusaha pelayaran untuk lebih memperhatikan perbaikan-perbaikan dalam perjanjian kerja, tanggung jawab agen pengawakan (manning agency), jam kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, pemenuhan standar perburuhan maritim dan pelaksanaan praktik pengerjaan yang baik.

Di bawah konvensi MLC, setiap kapal berukuran 500 GT ke atas yang beroperasi di perairan internasional maupun antarpelabuhan dalam suatu wilayah negara, wajib memenuhi semua ketentuan konvensi ini dan harus memiliki Sertifikat Buruh Maritim (Maritime Labour Certificate) yang dikeluarkan oleh administrator negara bendera setelah dilaksanakan pemeriksaan yang valid.

Suatu kapal dinyatakan telah memenuhi semua persyaratan MLC bila mampu menunjukkan bukti Declaration of Maritime Labour Compliance (DMLC).

Terkait hal ini, Hanafi menyatakan kendala pemerintah dalam meratifikasi MLC adalah akibat adanya penolakan dari Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia (INSA), dengan alasan kapal-kapal milik perusahaan pelayaran anggotanya belum siap.

Menurut Hanafi, sikap INSA tersebut tidak dapat dijadikan patokan oleh pemerintah, karena apapun alasannya setelah MLC diberlakukan secara penuh oleh ILO di seluruh dunia mulai 20 Agustus 2013, maka tetap saja kapal-kapal berbendera Indonesia yang melakukan pelayaran internasional akan menghadapi pemeriksaan oleh Port State Control (PSC) setempat.

Apabila kapal tidak memiliki DMLC, maka akan dikenai sanksi.

Dampaknya bagi pelaut, kata Hanafi, adalah berkurangnya lapangan pekerjaan karena pemilik kapal akan lebih tertarik merekrut pelaut dari negara-negara yang telah meratifikasi MLC, dengan asumsi sistem perekrutan dan perlindungan pelaut di negara-negara yang telah meratifikasi telah memenuhi ketentuan MLC.

Untuk itu, Hanafi mengusulkan beberapa langkah yang harus dilaksanakan. Pemerintah perlu segera memfasilitasi dialog tripartite antara Pemerintah, Serikat Pekerja Pelaut (KPI) dan INSA untuk mempersiapkan ratifikasi MLC. Pemerintah segera meratifikasi MLC dalam bentuk undang-undang sebagaimana sebelumnya yang telah meratifikasi beberapa konvensi fundamental ILO lainnya.

"Bila pemerintah tidak merespons kondisi yang sudah kritis ini, KPI minta perhatian DPR-RI segera mengambil inisiatif terhadap penyusunan undang-undang untuk meratifikasi MLC," ujarnya.
(E007/T007)

Pewarta: Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013