Bandar Lampung, (ANTARA News) - Ekosistem rawa-rawa pada areal sekitar 600 ha di Rawa Pacing di Kabupaten Tulang Bawang (Lampung) menurut penelitian Wetland International (1994) sebagai memenuhi kriteria untuk dilestarikan, memerlukan dukungan para pihak untuk menjadi kawasan konservasi yang lestari berbasiskan masyarakat. Informasi yang diperoleh ANTARA Bandar Lampung, Selasa (2/8) menyebutkan, dari total sektiar 86.000 ha areal lahan basah di salah satu kabupaten di Lampung itu, kekayaan hayati yang dimiliki Rawa Pacing pantas disejajarkan dengan kakayaan jenis pada sebuah ekosistem suaka alam meskipun kawasan tersebut secara faktual dikuasai warga di sana. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Konservasi (LK) 21, Edy Karizal, Rawa Pacing adalah sebuah ekosistem lahan basah yang pengelolaan kepemilikannya adalah merupakan hak Marga Buay Bulan yang kemudian bisa membaur dengan banyak warga pendatang dan dapat mengakses pula lahan basah tersebut, terutama di desa terdekat, Kibang Pacing Jaya. "Kami telah melihat sendiri kenyataan bahwa masyarakat di sana yang telah berupaya membangun suatu sistem pengelolaan rawa yang lebih menjamin kelestarian kekayaan hayati di dalamnya, sekaligus menjamin kesejahteraan warga setempat," kata Edy. Hasil penelitian Wetland International (tahun 1994) menunjukkan, rawa-rawa di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Tulang Bawang tersebut memenuhi kriteria Konvensi Ramsar sebagai "wilayah pelestarian". Rawa Pacing juga merupakan contoh yang baik sebagai areal lahan basah alami atau mendekati alami yang khas untuk suatu wilayah biogeografi, bersama Rawa Bakung dan Rawa Tenuk di Kabupaten Tulang Bawang. Pada rawa itu terdapat kesatuan ekosistem merupakan contoh dari habitat limpasan pinggir sungai dengan rawa-rawa yang ditumbuhi rumput Phramites dan gelam di Sumatera yang masih tersisa. Lokasi itu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat sekitarnya dalam penyediaan makanan, karena menghasilkan ikan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, baik sebagai sumber pencaharian maupun penambah protein. Lokasi itu juga menyokong kehidupan sejumlah jenis atau anak jenis tumbuhan dan hewan yang termasuk langka, rentan atau terancam punah, habitat burung yang terancam punah dan rentan, seperti serati hutan, itik rimba, bangau tongtong, bangau bluwok, burung sepatu picisan. Bangau Tongtong dan Bangau Bluwok merupakan jenis burung yang telah terancam punah di Indonesia. Rawa Tenuk, Rawa Pacing, dan Rawa Bakung memiliki kepentingan nasional bahkan internasional untuk konservasi lahan basah, karena mendukung kehidupan sejumlah besar burung-burung air, seperti kuntul besar, kuntul kerbau, dan cangak merah. Rawa itu juga menyokong salah satu koloni burung air yang terbesar di Indonesia, termasuk lokasi berbiak pertama yang diketahui di Sumatera untuk spesies Kowak Maling/Kowak Malam Kelabu (Nycticorax nycticorax) dan Pecuk Ular Asia (Anhinga melanogaster). Menurut Wetland International, secara tetap rawa di Tulang Bawang itu menyokong kehidupan sekitar satu persen dari populasi dunia dari suatu jenis atau anak jenis burung air. Sedikitnya 53 ekor atau lebih burung Wilwo ditemukan di Tulang Bawang. "Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang harus membantu masyarakat di Rawa Pacing dan rawa-rawa di sana umumnya untuk mempertahankan dan menjamin wilayah tersebut menjadi areal konservasi berbasis masyarakat," ujar Edy Karizal lagi. Dalam kaitan pengembangan kawasan Rawa Pacing itu, LK-21 siap menggelar Lokakarya Pengelolaan Konservasi Ekosistem Esensial Lahan Basah (Wetland) Rawa Pacing di Kabupaten Tulang Bawang Berbasis Masyarakat yang dijadualkan pada Selasa (8/8) di Kantor Pemkab Tulang Bawang. Sebanyak 30-an lembaga diundang untuk mengikuti lokakarya yang salah satu outputnya adalah menyusun suatu perencanaan yang berbasiskan multipihak untuk kepentingan konservasi lahan basah di Rawa Pacing dengan mendukung kesejahteraan masyarakat sekitarnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006