Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis forensik dari Universitas Indonesia Kasandra Putranto menyebut secondhand embarrassment atau perasaan malu tidak langsung untuk orang lain bisa dirasakan karena sifat dasar manusia yang berakar pada makhluk sosial sehingga emosi orang lain bisa dapat terserap pada yang melihat kejadian tersebut.
 
"Seperti yang kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial, maka emosi yang dianggap dirasakan oleh seseorang bisa diserap oleh orang yang menyaksikan kejadian tersebut," tulis Kasandra dalam pesan singkat yang diterima ANTARA, Selasa.
 
Ia juga mengatakan rasa malu bisa muncul dari kejadian yang dialami orang lain karena biasanya hal-hal yang mereka saksikan adalah perilaku atau citra diri yang tidak diharapkan ada pada dirinya, sehingga ketika mereka melihat hal tersebut, rasa malu tumbuh.
 
Secondhand embarrassment biasanya terjadi ketika mereka menyaksikan sesuatu yang dianggap memalukan atau canggung. Hal-hal memalukan dan canggung ini bisa dianggap sebagai stresor untuk mereka yang menyaksikannya.
Kasandra juga menekankan hal ini sangat rentan dirasakan oleh mereka yang memiliki empati yang tinggi dan mereka yang memiliki indikasi social anxiety disorder atau gangguan kecemasan sosial.
 
"Hal ini dikarenakan seseorang secara mental menempatkan dirinya seperti berada di situasi orang lain yang dianggap melakukan hal yang memalukan atau canggung. Oleh karena itu, rasa malu seperti harus ditanggung bersama," tambah Kasandra.
 
Rasa malu terhadap kejadian tidak nyaman yang dilakukan seseorang bisa dirasakan meskipun orang yang melihat tidak mengenal sama sekali orang tersebut.
 
Hal itu karena adanya rasa empati yaitu kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan juga membayangkan diri sendiri berada di posisi orang tersebut.
 
Kasandra menyarankan jika mengalami kondisi secondhand embarrassment akibat kejadian memalukan yang dilakukan orang lain, cara menyikapinya adalah menyadari bahwa perasaan tersebut normal dan tidak menyalahkan diri sendiri atau merasa terbebani dengan perasaan tersebut.
 
"Penting untuk mengakui dan mengenali perasaan secondhand embarrassment yang kita rasakan. Sadari bahwa perasaan ini normal dan bahwa banyak orang juga mengalaminya. Jangan menyalahkan diri sendiri atau merasa terlalu terbebani dengan perasaan tersebut," tulisnya.
 
Hal lain yang bisa dilakukan agar perasaan tersebut tidak menjadi beban adalah menjaga perspektif atau pandangan bahwa kejadian tersebut tidak terjadi pada diri sendiri. Melihat dengan sudut pandang lebih objektif juga bisa membuat kita tidak terlalu memberi perhatian pada perasaan malu tersebut.
 
Selain itu, coba lihat dari sisi humor dan alihkan perhatian pada sisi positif dari kejadian memalukan tersebut.
 
"Alihkan perhatian kita pada hal-hal yang positif atau menyenangkan yang terjadi di sekitar kita. Fokus pada hal-hal yang baik dapat membantu mengurangi perasaan malu yang tidak langsung," kata pemilik klinik Kasandra & Associates ini.
 
Berbicara dengan orang lain tentang perasaan secondhand embarrassment yang dirasakan juga dapat membantu mengurangi beban emosional. Ia mengatakan orang lain mungkin juga telah mengalami situasi serupa sehingga dengan berbagai dapat memberikan perspektif atau dukungan yang diperlukan.
 
Jika yang mengalami kejadian tidak nyaman adalah orang yang dikenal, coba pahami situasi dan tunjukkan empati dengan tidak mengolok-olok kejadian memalukan tersebut kepada yang bersangkutan.
 
"Jika perasaan malu yang tidak langsung berlanjut dalam pikiran kita, berikan diri kita waktu untuk memprosesnya. Setiap orang memiliki waktu yang berbeda untuk mengatasi perasaan ini, jadi bersabarlah dengan diri sendiri," tutup Kasandra Putranto.

Baca juga: Psikolog sebut aromaterapi dapat bantu kelola stres 

Baca juga: Alami stres karena perubahan? Berikut kiat psikolog menghadapinya

Baca juga: Psikolog UI paparkan tantangan generasi sandwich

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024