Jakarta (ANTARA News) - Dibalik sosoknya yang santun dan pendiam, Hendra Setiawan merupakan raja di lapangan bulu tangkis.

Atlet yang baru menginjak usia 29 tahun pada 25 Agustus lalu itu telah mencicipi gelar juara yang selalu menjadi impian setiap atlet, Olimpiade dan Juara Dunia.

Bersama Markis Kido, Hendra pernah menjadi pasangan ganda putra yang paling ditakuti dan menempati peringkat satu dunia. Dari gelar-gelar bergengsi, duet Hendra dan Kido telah merasakan Juara Dunia (2007), Olimpiade (2008), dan Asian Games (2010) serta puluhan gelar juara lainnya.

Sebelum berhasil menggapai gelar juara All England, pasangan yang bergabung sejak 2004 tersebut memutuskan berpisah di tahun 2012.

Episode baru Hendra pun dimulai. Setelah dijodohkan dengan pemain muda Mohammad Ahsan, ia harus mengawali kariernya dari nol lagi. Bersama Ahsan, Hendra berperan sebagai pemimpin yang membimbing Ahsan.

Sosok Hendra yang kalem dan tenang, sementara Ahsan yang meledak-ledak dan agresif, tampaknya menjadi ramuan yang pas sehingga mereka hanya butuh waktu sekitar dua bulan untuk menyabet gelar pertama mereka di Malaysia Terbuka 2013 pada Januari 2013.

Hal itu menjadi awal yang baik bagi Hendra dan Ahsan. Peringkat mereka yang awalnya di bawah 50 dunia, perlahan menanjak ke peringkat 20. Ahsan yang awalnya mengaku grogi harus berpasangan dengan senior kelas dunia semakin merasa klop karena Hendra tidak pernah bosan membimbingnya dan selalu berbagi pengalaman dengannya.

"Saya sering konsultasi dengan Koh Hendra. Dia orangnya sabar dan kalem, sementara saya lebih agresif jadi kami saling melengkapi. Dia sering berbagi pengalamannya," kata Ahsan.

Kemenangan pertama mereka di Malaysia Terbuka telah membuat kepercayaan diri Hendra dan Ahsan semakin meningkat. Mereka terus menantang pasangan-pasangan top dunia. Pada All England 2013 lalu, mereka menembus semifinal sehingga naik ke ranking 13 dunia.

Kemudian Hendra/Ahsan mulai menembus sepuluh dunia setelah menjuarai Indonesia Terbuka dan Singapura Terbuka. Pada kedua turnamen tersebut, Hendra/Ahsan membungkam pasangan nomor satu dunia, Ko Sung Hyun/Lee Yong Dae dari Korea Selatan.

Indonesia semakin berharap pada duet Hendra dan Ahsan. Pada Kejuaraan Dunia 2013, mereka dibebankan target memboyong gelar juara yang telah enam tahun lepas dari tangan Indonesia. Hendra dan Ahsan membuktikannya. Mereka berhasil menjadi Juara Dunia, yang kedua kalinya untuk Hendra dan gelar perdana bagi Ahsan.

Ketika tanpa banyak kesulitan berhasil menaklukkan pasangan wakil Denmark, Mathias Boe-Carsten Mogensen 21-13, 23-21 di babak final, Ahsan melompat melampiaskan kegembiraannya. Hendra hanya tersenyum, ia lalu meraih Ahsan yang tengah bersujud di lapangan. Mereka pun berpelukan.

"Saya sempat bertanya sama Koh Hendra, 'Ini kita juara dunia, koh?. Koh Hendra hanya tertawa," ungkap Ahsan.

Begitu lah sosok Hendra. Pria jangkung kelahiran 1.81 meter itu ibarat padi yang semakin berisi, justru semakin merunduk. Saat ditanya wartawan bagaimana perasaannya kembali berhasil meraih gelar Juara Dunia, ia hanya menjawab singkat seraya memberikan senyuman khas-nya.

"Pastinya senang.  Ternyata masih bisa juara dunia lagi," ucapnya.

Meskipun telah merasakan gelar-gelar bergengsi, ia mengaku tidak pernah puas dengan apa yang pernah ia raih. Menurutnya, itulah kunci  kesuksesannya.

"Masih banyak yang ingin saya capai, saya belum pernah puas. Kalau menjadi pemain jangan cepat puas," kata Hendra.

"Saya ingin mengulang kesuksesan seperti dulu. Juara Asian Games tahun depan, Juara Dunia, dan pastinya Olimpiade juga All England karena saya belum pernah," tambah anak bungsu dari tiga bersaudara itu.

Jika ia tampil di Olimpiade 2016 nanti, Hendra akan menginjak usia 32 tahun. Namun pelatihnya, Herry Iman Pierngadi yakin usia bukan menjadi halangan perjalanan Hendra menuju juara Olimpiade bersama Ahsan.

"Saya sangat optimistis. Dia tidak hanya seorang juara di  kejuaraan, tetapi hidupnya juga juara. Hendra mencerminkan seorang juara dengan hidupnya yang teratur, disiplin, dan menjaga pola makannya," kata Herry.

Dari Pemalang ke panggung internasional

Saat ditanya siapa sosok yang paling berperan dalam kariernya di bulu tangkis, dengan cepat Hendra menjawab kedua orang tuanya, Ferry Yugianto dan Kartika Christyaningrum.

"Terutama papa saya yang pertama kali mengajari saya bermain bulu tangkis," ujar Hendra yang tengah menanti kehadiran anak dari  Sandiani Arief yang dinikahinya pada 9 Oktober 2011.

Hendra yang sering dipanggil Jangkies itu terlahir dari keluarga bulu tangkis. Ayahnya merupakan pelatih bulutangkis di klub Sinar Mutiara Tegal. Kakaknya, Silvia Anggraeni, merupakan mantan atlet nasional yang juga istri dari Hendrawan, pebulu tangkis Indonesia.

Ayah Hendra, Ferry berkisah bahwa Hendra telah menunjukkan bakatnya sejak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.

"Hendra kecil memang sering ikut saya melatih bulu tangkis, dia biasanya nonton di pinggir lapangan. Tetapi ternyata dia ada bakat, sejak itu saya fokuskan dia supaya jadi pemain yang berprestasi. Malah bulu tangkis prioritas pertama, sekolah nomor dua," jelas Ferry.

Pada usia tujuh tahun Hendra mulai merintis kariernya di bulu tangkis. Ia memulai sebagai pemain tunggal. Saat masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, Hendra menjadi juara di turnamen daerah, berlanjut ke Porseni sampai tingkat kabupaten dan provinsi.

Kemudian saat kelas 2 SMP, Hendra memutuskan pindah ke Jakarta untuk menekuni bulu tangkis secara profesional dengan bergabung di klub Jaya Raya hingga sekarang.

Setelah cukup bersinar dengan pasangannya Kido, Hendra pun pernah mengalami masa sepi gelar juara. Akhir tahun 2009, ia sempat memutuskan hengkang dari Pelatnas Cipayung karena mengikuti jejak Kido dan ingin terus berpasangan dengannya. Kemudian ia didera cedera lutut kanan yang berimbas pada prestasinya sepanjang tahun 2010 dan 2011.

Meskipun begitu, ia tidak pernah mengenal kata putus asa. Seperti yang disampaikan Ferry, Hendra merupakan sosok panutan di keluarganya sebagai anak yang disiplin dan tidak neko-neko meskipun telah menjadi atlet kelas dunia.

"Saya sebagai orang tua bangga, dia tidak pernah mengeluh dan sejak kecil memang bercita-cita jadi juara," kata Ferry di temui di kediamannya di Pemalang, Jawa Tengah.

Ia menambahkan, "Hendra anak yang paling pendiam. Kalau tidak diajak bicara, ya tidak bicara. Sampai sekarang dia menjadi panutan di keluarga karena anaknya disiplin dan tidak neko-neko."

Pada sebuah sore, Rabu (27/8) lalu, Hendra kembali membuat kedua orang tuanya bangga. Hendra bersama rekannya Ahsan dan Tontowi Ahmad, diarak keliling kota kelahirannya.

Hendra dan rekan-rekannya disambut dengan antusias oleh puluhan ribu warga. Nama Hendra dieluk-elukan sebagai putra daerah yang membanggakan, yang berhasil menorehkan prestasi di kancah internasional.

Hal ini membangkitkan nostalgia Ferry saat Hendra juga di puncak kejayaan usai berhasil menjadi juara Olimpiade 2008 bersama Kido. Saat itu, pertama kalinya Hendra diarak di Kota pemalang.

"Melihat ini lagi saya tentu senang. Saya tidak menyangka sambutannya begitu antusias," ujar Ferry.

Kegembiaraan Ferry terasa lebih lengkap karena anak bungsunya yang hampir dua tahun tidak pulang itu, akhirnya menyambangi rumahnya lagi meskipun hanya beberapa menit sebelum melanjutkan kirab sang juara dunia di Purwokerto. Ferry dan istrinya, Kartika, terlihat sumringah melihat sang juara dunia pulang.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013