Jakarta (ANTARA) - Persentuhan penulis dengan dokumen Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA adalah ketika menulis biografi Jaksa Agung Soeprapto pada 2003. Perjumpaan dengan Djokomoelyo Mangoenprawiro, mantan jaksa yang telah menulis sejumlah buku, menjadi titik cerah di tengah kebuntuan mencari data Jaksa Agung keempat RI ini.

Djokomoelyo banyak menguraikan pengalamannya sebagai aparat hukum dan mengurai kasus-kasus yang pernah ditanganinya. Di salah satu bukunya, ia menggunakan dokumen LKBN ANTARA yang dikutip dari koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Dari petugas arsip justru diperoleh informasi bahwa koleksi terlengkap Antara ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), sekarang disingkat Perpusnas. Sejak saat itulah penelitian difokuskan di lantai IX Perpusnas, tempat koleksi koran lama.

Dibutuhkan waktu hampir tiga bulan untuk menelusuri data yang diperlukan dari dokumen ANTARA. Soeprapto yang ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Indonesia menjabat sebagai Jaksa Agung pada tahun 1951-1959 dan meninggal pada 1964. Dokumen yang dibutuhkan adalah antara tahun 1950-1959. Beruntung, dokumen-dokumen lawas itu masih dalam kondisi baik, terjilid rapi dan kuat.

Sebagai kantor berita nasional, berita ANTARA dirujuk oleh berbagai media massa, saat itu. Bentuknya buletin yang kadang berukuran kwarto dan kadang berukuran folio. Setiap hari terbit dua kali, pagi dan siang hari.

Berita pagi ditandai dengan huruf A, dan berita siang dengan huruf B. Data setiap bulan terbagi kepada dua atau tiga jilid yang masing-masing kira-kira berukuran satu rim kertas. Untuk yang dua jilid, bagian pertama antara tanggal 1-15, dan bagian kedua 16-28/30/31. Sedangkan yang tiga jilid, terbagi menjadi tanggal 1-10, 11-20, dan 21-28/30/31.

Beritanya terbagi ke dalam empat kategori, yakni dalam negeri, olahraga, ekonomi, dan luar negeri. Kecuali pada peristiwa khusus, seperti Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955, ANTARA menerbitkan halaman tambahan berisi liputan KAA.

Penelitian difokuskan pada berita dalam negeri yang jumlah halamannya setiap hari tidak selalu sama, berkisar antara 10 – 25 halaman. Kalau diambil rata-rata 20 halaman per hari, maka antara Juni-Agustus 2003, penulis telah membaca lebih dari 70.000 halaman.

Sebuah kesempatan yang luar biasa, karena penulis seolah memutar balik laju sejarah Indonesia, dan "menyaksikan" bagaimana negeri ini dibangun dan bangsa ini bergerak, pada tahun-tahun awal setelah penyerahan kedaulatan 1949.

Hal lain yang menarik dari ANTARA ialah ketekunan wartawannya untuk menghimpun pandangan sejumlah surat kabar lain, ketika ada kasus yang menarik perhatian publik. Hal ini sangat memudahkan untuk mengetahui pendapat surat-surat kabar itu dalam kasus yang diteliti.

Hal itu juga yang menyebabkan penelitian difokuskan pada dokumen ANTARA dan agak "mengabaikan" media lain. Karena media lain pun nyaris selalu mengambil informasi terkait Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung Soeprapto, dari LKBN ANTARA.

Pembacaan ribuan dokumen itu di satu sisi memberikan wawasan yang cukup luas dan mendalam, tetapi di sisi lain menyisakan kecemasan yang tak kunjung hilang. Bahwa ternyata bangsa ini hanya berkutat dalam persoalan yang sama dari waktu ke waktu. Secara esensial, sebagai bangsa, kita belum beranjak meraih kemerdekaan sejati, setelah lepas dari politik kolonial negara asing.

Berdasar pengalaman saat riset untuk penulisan buku inilah dapat disimpulkan bahwa kita tidak lagi harus pesimis dengan keterbatasan data.

Dengan keleluasaan melakukan penelusuran data itu, Perpusnas boleh dibilang sudah cukup ideal sebagai perpustakaan rujukan. Proses pendaftaran keanggotaan baru bisa dilayani secara singkat, tak lebih dari lima menit. Data yang diperlukan, jika ada, sangat mudah diakses. Layanan petugas sangat baik, fasilitas untuk makan dan istirahat juga tersedia.

Data yang diperoleh dari ANRI dan Perpusnas, cukup untuk dijadikan bahan awal. Kalau bisa, sebaiknya memang ada suatu katalog komprehensif yang memublikasikan koleksi antarperpustakaan/lembaga arsip. Dengan katalog seperti ini, yang mudah diakses, niscaya akan memudahkan para peneliti.

Perpustakaan rujukan, seperti Perpusnas, masih harus terus secara aktif berburu naskah untuk lebih melengkapi lagi koleksinya, misalnya mencari dokumentasi PIA (Persbiro Indonesia) yang pada tahun 1950-an menjadi kantor berita selain ANTARA. Dan tentu akan sangat baik jika Perpusnas mampu mendapatkan data mengenai Indonesia yang ada di berbagai perpustakaan di luar negeri dalam berbagai bentuk; microfilm, microfiche, ataupun masih berbentuk cetakan.

Dokumen ANTARA telah menemani dan banyak membantu dalam penulisan sejumlah buku, khususnya dua buku mengenai Jaksa Agung Soeptrapto. Buku pertama berjudul "Mengadili Menteri Memeriksa Periwra Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959" (GPU, 2004). Buku kedua berjudul "Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia" (PBK, 2024).

Dua buku itulah, antara lain yang mengantarkan penulis meraih Jaksa Agung Soeprapto Award 2024, karena dianggap telah memberikan sumbangsih pemikiran dan kajian ilmiah dalam rangka penguatan kelembagaan sejarah Kejaksaan RI. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Jaksa Agung Burhanuddin pada penutupan Rakernas Kejaksaan pada Kamis, 11 Januari 2024 di Sentul, Bogor.

Tak berlebihan jika disimpulkan bahwa dokumen ANTARA telah menyelamatkan sejarah bangsa. Sosok dan kiprah Soeprapto yang tadinya sangat terbatas, kini bisa diketahui secara luas dan mendalam. Dokumen ANTARA telah mengabadikan sepak terjang Bapak Kejaksaan kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, itu.

*) Iip D. Yahya adalah peneliti dan penulis, tinggal di Bandung

 

Copyright © ANTARA 2024