Sistem pendidikan yang klasik atau lebih bersifat naratif tidak akan mampu memicu siswa untuk berpikir kritis terhadap suatu isu
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksmi Rachmawati mengatakan adanya transformasi dalam pembelajaran atau transformative learning akan mendorong pelajar untuk berpikir kritis dan mengambil aksi nyata dalam mewujudkan suatu perubahan.

“Di transformative learning yang menjadi penting adalah proses perubahan, jadi bagaimana awareness meningkat. Tentu dalam konteks ini pemuda menjadi sangat penting karena ujung tombak perubahan,” katanya dalam Reading Group Reboan BRIN di Jakarta, Rabu.

Laksmi menuturkan sistem pendidikan yang klasik atau lebih bersifat naratif tidak akan mampu memicu siswa untuk berpikir kritis terhadap suatu isu karena justru membatasi kreativitas yang sebenarnya ada di dalam diri siswa.

Terlebih lagi, apabila suatu isu tersebut mengutamakan kreativitas dalam mencari penyelesaiannya maka pembelajaran bersifat naratif yang selama ini banyak diterapkan di satuan pendidikan tidak bersifat solutif.

Sebagai contoh terkait isu perubahan iklim, selama ini pemahaman soal permasalahan tersebut dijelaskan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan target audiens seperti ke khalayak umum, pelajar, pemuda, atau kelompok-kelompok geografis.

Di sisi lain, cara tersebut tetap masih bersifat naratif dan menimbulkan beberapa kritik seperti terjadinya less engagement dari masyarakat terhadap isu perubahan iklim sehingga kurang ada aksi nyata untuk menangani permasalahan ini.

Baca juga: BRIN kaji penerapan konsep kota cerdas di Surabaya

Baca juga: Peneliti BRIN: Perlu sanksi tegas untuk cegah pesta seks


“Ibaratnya ya sudah dikasih saja informasinya tetapi kita tidak pernah tahu apakah orang memahami dengan betul. Seakan-akan pengetahuan tentang perubahan iklim itu sudah di-set yang melakukan penelitian, yang memahami itu,” katanya.

Bahkan, cara penyampaian pengetahuan mengenai perubahan iklim yang bersifat naratif justru menimbulkan efek negatif seperti masyarakat menjadi takut atau apatis sehingga tidak akan menciptakan aksi nyata.

Oleh sebab itu, Laksmi menegaskan diperlukan transformative learning yang tidak hanya memberi pemahaman melainkan juga memicu awareness hingga mampu mengubah perilaku pelajar dan masyarakat.

Transformative learning harus mampu melingkupi pengalaman atau experimental serta memberi ruang untuk eksplorasi, berdialog, dan merefleksi.

“Pengalaman itu dia masuk ke bagaimana melihat apa yang saya punya, nilai-nilai apa yang saya punya, pemahaman apa yang saya punya. Itu dipertanyakan kembali dengan konteks perubahan iklim, apa harus ada yang berubah,“ katanya.

Untuk eksplorasi dalam transformative learning model adalah mempertanyakan asumsi yang dimiliki terhadap suatu isu sehingga tidak hanya sekadar menghafal atau menerima suatu pengetahuan seperti dalam pembelajaran model klasik.

Untuk dialog dalam transformative learning adalah proses berdiskusi sehingga saling belajar, saling berbagi pemikiran, saling berbagi pengetahuan sehingga dapat dipahami bahwa dunia itu tidak statis.

Terakhir adalah refleksi yaitu proses untuk berpikir ulang seperti aspek-aspek atau modal apa saja yang sudah dimiliki diri untuk berkontribusi terhadap perubahan lingkungan hingga akhirnya dapat melakukan aksi nyata.

Baca juga: Pemuda unggul modal kuat wujudkan Indonesia Emas 2045

Baca juga: BRIN: Wajib belajar 12 tahun masih menjadi tantangan pemerintah

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024