Saat ini banyak instrumen perlindungan non tarif yang tidak menyalahi peraturan organisasi perdagangan dunia seperti kebijakan anti dumping, safe guard, bea masuk ditanggung pemerintah, dan verifikasi produk impor, tinggal dimanfaatkan saja,"
Jakarta (ANTARA News) - Sekjen Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar AD Budiyono mengatakan pemerintah perlu segera mempersiapkan perlindungan non tarif sebagai antisipasi melemahnya nilai tukar rupiah.

"Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang sifatnya mendesak mendampingi kebijakan yang sudah ada," kata Fajar saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Fajar mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah disebakan banyaknya pelaku usaha melakukan pembelian dolar AS terutama produk impor.

Dia mengungkapkan saat banyak produk jadi plastik impor yang membanjiri pasar Indonesia sehingga memberi kontribusi terhadap melemahnya nilai tukar rupiah..

"Saat ini banyak instrumen perlindungan non tarif yang tidak menyalahi peraturan organisasi perdagangan dunia seperti kebijakan anti dumping, safe guard, bea masuk ditanggung pemerintah, dan verifikasi produk impor, tinggal dimanfaatkan saja," kata Fajar.

Fajar menilai, kebijakan untuk mengantisipasi melemahnya nilai tukar rupiah saat ini baru digulirkan Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian, sedangkan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan masih harus didorong lagi untuk mengeluarkan kebijakan perlindungan non tarif.

Fajar mengatakan, impor barang jadi plastik dalam dua tahun terakhir terus mengalami kenaikan, kalau tahun 2012 volumenya 450.000 ton dengan nilai 1,2 juta dolar AS, maka tahun 2013 diperkirakan volume 550.000 ton dengan nilai 1,6 juta dolar AS.

Dia menunjuk pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan anti dumping, safe guard, dan bea masuk ditanggung pemerintah terhadap terpal plastik tahun 2011, sehingga tahun 2012 produk impor ini tidak ada lagi di pasar, tetapi tahun 2013 produk impor tersebut kembali masuk.

Fajar mengatakan, Inaplas mengidentifikasi terdapat 112 kode HS produk impor jadi plastik yang harus mendapatkan pembatasan non tarif diantaranya kemasan, ember, dan mainan anak.

Bahkan disinyalir produk melamin impor banyak yang memiliki SNI palsu sehingga produk tersebut membanjiri pasar Indonesia, ungkap Fajar.

Fajar menjelaskan, konsumsi produk plastik rata-rata setiap tahun mencapai 3,2 juta ton per tahun, kalau diasumsikan harga per ton 2000 dolar AS per ton berarti devisa dari sektor ini mencapai 6,4 juta dolar AS dalam bentuk terpal plastik, alat rumah tangga, produk kontruksi (pipa, karpet, wallpaper) dan sebagainya.

Fajar mengungkapkan dengan membanjirnya produk impor pada akhirnya berpengaruh terhadap kemampuan produksi industri plastik jadi di dalam negeri, kalau biasanya bisa 80 persen maka harus diturunkan 60 persen agar bisa diserap pasar.

Fajar mengatakan, anggota Inaplas sendiri sebanyak 70 perusahaan yang bergerak di sektor industri plastik hilir yang terpaksa harus menurunkan utilitasnya, di luar asosiasi terdapat 500 perusahaan bergerak di sektor plastik dengan kapasitas rata-rata 6500-7000 ton per bulan.

Turunnya utilitas industri plastik jadi (hilir) pada akhirnya berpengaruh terhadap industri hulu yang dampaknya tidak akan dirasakan pada tahun 2013 tetapi tahun 2014, jelas Fajar.

Fajar mengatakan, pemerintah disisi lain juga harus mengatur impor produk hulu petrokimia seperti polypropylene dan polyethylene, meskipun industri di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri tetapi tetap harus diatur agar tidak terjadi kelebihan pasok.

Saat ini impor polyprophylene 50 persen, sedangkan polyethylene 40 persen disinilah perlu dilakukan verivikasi produk impor agar tidak terjadi kelebihan pasokan di dalam negeri," jelas dia.

Menurut Fajar, produsen di dalam negeri biasanya kalau harga murah melakukan aksi borong, sedangkan kalau harga tinggi tidak ada yang beli, maka perlu diatur agar mereka membeli sesuai kebutuhan sehingga uang dolar AS yang dimiliki untuk belanja bahan baku dapat dihemat.

Surveyor sudah pernah melakukan hal tersebut tetapi karena ekonomi dianggap sudah kuat kebijakan tersebut tidak pernah dikenakan, tetapi kalau melihat kondisi sekarang harus segera diaktifkan kembali, kata Fajar.

Fajar mengatakan biasanya yang diverivikasi volume, jenis, dan negara asal produk karena biasanya produk tersebut masuk ke Indonesia melalui negara Asean, sedangkan kita punya perjanjian bebas bea masuk, disini perlu verivikasi agar diketahui apakah produk itu punya perjanjian dagang serta sudah mengikuti peraturan.

Kebijakan perlindungan non tarif ini sangat penting untuk melindungi industri di dalam negeri, tetapi kapan kita harus ketat dan kapan longgar harus melihat iklim usaha, persoalannya pemerintah seringkai terlambat mengantisipasi.

Inudstri petrokimia ini disebabkan bahan baku dibeli dalam dolar sedangkan harga jual dalam rupiah, terkait hal tersebut Fajar berharap pemerintah dapat segera mengeluarkan kebijakan perlidungan.

"Harapannya kebutuhan di dalam terpenuhi tetapi tidak mematikan industri di dalam negeri, kita akan melihat perkembangan industri minuman dan makanan." Jelas Fajar.

Dia berharap apabila pemerintah jadi mengeluarkan kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan (lower cost and green car/ LCGC) jadi diwujudkan karena 40 persen komponen menggunkanan plastik (interior dan bemper). 

(G001/M019)

Pewarta: Ganet D
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013