... investasi pada ASI eksklusif, setiap satu dolar AS yang diinvestasikan maka mendapatkan pengembalian manfaat sebesar 35 dolar AS.
Jakarta (ANTARA) - Sepertinya kita perlu memikirkan kembali asupan makanan yang diberikan kepada anak. Jangan hanya sekadar kenyang atau ingin serba praktis, lalu memberikan asupan makanan rendah gizi bahkan nir-gizi kepada anak.

Masalah gizi terlihat sepele dan tidak dirasakan dampaknya secara langsung, tapi memiliki dampak jangka panjang tidak hanya pada individu tersebut. Lebih dari itu memiliki dampak pada masa depan bangsa.

Laporan World Population Review pada 2023 menyebutkan rerata tingkat kecerdasan orang Indonesia berasa pada angka 78,49 atau menempati peringkat 126 dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat paling buncit dibandingkan negara lainnya bersama dengan Timor Leste. Tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia bahkan lebih rendah dengan skor IQ rata-rata 99,75. Dengan kondisi seperti itu, apakah mungkin Indonesia Emas 2045 dapat tercapai?

Banyak sebab, mengapa tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia rendah. Selain faktor genetik, gizi berperan penting dalam membentuk kecerdasan seorang anak. Gangguan tumbuh kembang anak yang berlangsung dalam waktu lama atau stunting dalam jangka panjang turut memengaruhi kecerdasan kognitif.

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 menyebutkan prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen. Meski mengalami penurunan yang konsisten dalam 3 tahun terakhir, jumlah tersebut masih berada di atas standar WHO.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Endang L. Achadi, mengatakan stunting memang tidak secara langsung membuat seorang anak mengalami risiko kurang cerdas. Risiko tersebut baru dirasakan saat anak berada di jenjang sekolah.

Oleh karenanya, mencegah stunting sama halnya dengan menyelamatkan bangsa. Anak yang terpenuhi kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupannya (HPK), maka akan tumbuh dengan fungsi organ dan sistem tubuh yang optimal. Dalam jangka panjang anak menghasilkan anak bangsa yang berkualitas yakni cerdas, tidak mengalami penyakit tidak menular, dan tidak pendek.

Sementara anak yang mengalami stunting dalam periode kehamilan hingga berusia 2 tahun dalam kehidupannya, berisiko kurang cerdas, rentan mengidap penyakit tidak menular, dan tinggi badannya lebih pendek jika dibandingkan usianya.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, perbaikan gizi masyarakat masuk ke dalam salah satu prioritas nasional, di antaranya percepatan penurunan stunting, peningkatan jaminan asupan gizi makro dan mikro terutama pada ibu hamil dan anak dengan usia di bawah 2 tahun, dan penguatan advokasi, komunikasi sosial dan perubahan perilaku hidup sehat.

Namun pertanyaannya selepas 2024 dan bergantinya tampuk kepemimpinan di negeri ini, apakah fokus akan perbaikan gizi masyarakat khususnya anak, akan menjadi perhatian utama?

Berbeda dengan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia harus diakui belumlah populer. Itu sebabnya para politikus lebih menjanjikan sesuatu yang sifatnya jangka pendek dibandingkan jangka panjang. Alih-alih menjanjikan kemudahan akses pendidikan misalnya, politikus lebih senang menjanjikan pembangunan infrastruktur yang bisa terlihat dan dirasakan begitu proyeknya selesai. Tapi pembangunan SDM? Mungkin perlu waktu berpuluh-puluh tahun.

Padahal investasi terkait gizi lebih menguntungkan. Ketua Kelompok Riset Gizi Komunitas, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Dr.  Yekti Widodo, mengatakan setiap satu dolar AS yang diinvestasikan pada masalah stunting akan mendapatkan manfaatnya sekitar 11 dolar AS.

Jika Pemerintah mengeluarkan dana sebesar satu dolar AS untuk investasi gizi masalah anemia pada perempuan maka setidaknya akan mendapatkan manfaat sebesar 12 dolar AS.

Manfaat paling tinggi dirasakan jika investasi pada ASI eksklusif, yang mana setiap satu dolar AS yang diinvestasikan maka mendapatkan pengembalian manfaat sebesar 35 dolar AS. ASI eksklusif merupakan cara yang paling murah karena tidak ada biaya yang dikeluarkan kecuali untuk konsumsi ibunya.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi setelah pemberian ASI eksklusif pun sebenarnya tak sulit amat karena sumber pangan yang bergizi seimbang sebenarnya bertebaran di sekitar masyarakat. Pusat Kajian Gizi Regional UI atau Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON) meluncurkan rekomendasi kebijakan Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) pada 2021.

Contohnya di Kabupaten Aceh Timur, anak berusia 6 bulan hingga 11 bulan mengalami kekurangan asupan zat gizi besi, vitamin B3, dan folat. Rekomendasi PGS-PL untuk masalah tersebut yakni dengan meningkatkan konsumsi protein hewani termasuk ikan dan telur ayam serta sayuran termasuk wortel. Juga perlu diberikan pliek'u hati ayam dan daun melinjo sebagai pilihan menu makanan. Pliek’u merupakan makanan tradisional Aceh yang mirip dengan gulai yang berisi campuran sayuran.
 

Pertanian sensitif gizi

Perbaikan gizi masyarakat tak hanya dilakukan dari sisi pengguna saja, tetapi harus holistik dari hulu ke hilir. Dari sisi pertanian pun patut menjadi perhatian utama. Berbagai tantangan gizi dan kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini tak lepas dari aktivitas pertanian yang belum peka terhadap gizi.

Dosen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) IPB Dr. Siti Amanah  mengatakan salah satu perspektif yang berkembang dalam beberapa dasawarsa berkaitan dengan penyuluhan sensitif gizi adalah produksi pangan dan konsumsi yang berkelanjutan. Oleh karenanya, perlu pendidikan dan penyuluhan kepada pelaku utama dan usaha tani supaya menjalankan proses produksi pertanian yang bertanggung jawab sehingga menghasilkan produk pertanian yang sehat serta bernutrisi tinggi

Pertanian sensitif gizi bukan saja membangun ketahanan pangan tapi juga bentuk transformasi ekonomi seperti terbukanya lapangan kerja baru, berkontribusi dalam penyediaan jasa lingkungan, dan mendukung pola hidup sehat melalui produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab.

Faktor budaya juga perlu diperhatikan. Sudah saatnya budaya patriarki didobrak, tak melulu memprioritaskan makanan untuk kepala keluarga tapi asupan gizi pada anak harus jadi prioritas. Negara-negara yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi di dunia seperti Jepang (106,49), Taiwan (106,47), Singapura (105,89) memiliki budaya yang hampir mirip yakni memperhatikan asupan gizi yang masuk pada anak dan pendidikan.

Mengingat pentingnya masalah gizi tersebut, maka tak ada salahnya jika para pemimpin bangsa ke depan, menjadikan pembangunan SDM sebagai fokus perhatiannya. Salah satunya dengan memperbaiki tata kelola pertanian yang lebih sensitif gizi, melibatkan penyuluhan dalam pemberdayaan masyarakat, dan menaruh perhatian serius pada masalah gizi dan pendidikan.

Memang tak mudah dan harus menjadi gerakan semesta, tapi inisiasi itu harus didukung dengan kebijakan Pemerintah karena amanat UUD 1945 dalam alinea keempat menegaskan, negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.







 

Copyright © ANTARA 2024