Jakarta (ANTARA News) - Vonis hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator kendaraan di Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Pol. Djoko Susilo, delapan tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, majelis hakim yang diketuai oleh Suhartoyo menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan kepada Djoko Susilo.

Tuntutan tersebut lebih ringan dari tuntutan hukuman yang diajukan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan.

Jaksa penuntut umum KPK juga menuntut pengadilan mewajibkan Djoko membayar uang pengganti sebesar Rp32 miliar dengan subsider lima tahun kurungan serta mencabut hak Djoko untuk menggunakan hak politik, untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Menurut hakim anggota, Anwar, majelis hakim berpendapat masa pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum terlalu berat dan hukuman yang dijatuhkan sudah memenuhi keadilan karena dapat menjadi momentum memperbaiki perbuatan terdakwa.

"Tuntutan uang pengganti keuangan negara tidak dikabulkan karena sudah ada aset-aset yang dirampas untuk negara," kata hakim Anwar.

"Majelis hakim tidak akan menjatuhkan pidana akan hal bila terdakwa ingin menggunakan hak konstitusi karena terdakwa sudah dijatuhi hukuman yang lama maka akan terseleksi oleh aturan politik yang berlaku," katanya.

Aset-aset Djoko dirampas untuk negara kecuali tiga bukti yaitu tanah dan bangunan di Jalan Cendrawasih di Tanjung Barat Mas atas nama Mahdiana, mobil toyota avanza warna silver atas nama Sonya Mariana Ruth Warouw dan satu mobil Toyota Avanza atas nama Muhammad Zainal Abidin.

Dalam tindak pidana korupsi, hakim menganggap Djoko terbukti melakukan tindakan melawan hukum dengan memberikan surat perintah kerja pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat untuk pengajuan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar padahal pagu anggaran belum disahkan dan kontrak belum ada.

Ia juga memerintahkan ketua dan panitia pengadaan simulator kendaraan memberikan tugas pengadaan kepada direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA), Budi Susanto.

Selain itu, menurut hakim, Djoko dan Budi Susanto terbukti memerintahkan panitia pengadaan untuk menyusun Harga Perhintungan Sendiri peralatan simulator kendaraan R2 dan R4 dengan meningkatkan harga sebenarnya serta memerintahkan panitia untuk PT CMMA sebelum pekerjaan selesai seluruhnya.

"Terdakwa menerima uang dari Budi Susanto sebesar Rp32 miliar dan uang tersebut terkait dengan pengadaan simulator R2 dan R4, sehingga masuk dalam perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi," kata hakim Ugo.

Djoko juga dinilai merugikan keuangan negara karena laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan penyimpangan Rp121,8 miliar yang termasuk di dalamnya penggelembungan harga simulator kendaraan.

Untuk dakwaan pidana pencucian uang, hakim menilai seluruh kekayaan Djoko pada periode 2003-2009 berupa tanah, SPBU, rumah, kondotel, kendaraan, serta uang setelah dijumlahkan berjumlah Rp54,6 miliar dan 60 ribu AS patut diduga hasil tindak pidana korupsi karena tidak sesuai dengan penghasilan Djoko sebagai anggota Polri.

Anwar menjelaskan, kekayaan yang diperoleh terdakwa sebagai anggota Polri pada 2003-2010 sebesar Rp54,6 miliar dan 60 ribu dolar AS sementara penghasilan terdakwa pada 2003-2010 yang berjumlah Rp407,1 juta dan penghasilan di luar gaji anggota Polri yang dilaporkan sampai Agustus 2010 ke Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara seluruhnya berjumlah Rp1,2 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013