Bandung (ANTARA) - Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengungkapkan hilirisasi lewat teknologi saat ini, telah ada 179 produk turunan sawit pada 2023, yang meningkat dari 54 jenis pada 2007 lalu, yang berkontribusi meningkatkan perekonomian nasional berkali-kali lipat.

Pelaksana tugas (plt) Ketua Umum DMSI Sahat Sinaga menyampaikan bahwa dengan proses hilirisasi sawit tersebut, nilai usahanya di tahun 2023 sudah mencapai 62,9 miliar dolar AS dengan rincian berasal dari hasil ekspor sebesar 38,4 miliar dolar AS, domestik 21,4 miliar dolar AS, dan biomassa 3,1 miliar dolar AS.

"Dan kesempatan masih terbuka luas untuk dikembangkan agar meningkatkan keuntungan (revenue) sawit kita," ujar Sahat dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit dengan tema 'Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia' di Bandung, Kamis.

Meski cukup mengalami peningkatan, Sahat mengatakan bahwa hilirisasi industri sawit Indonesia masih kalah oleh Malaysia yang telah mempunyai sekitar 260 produk turunan sawit yang salah satunya adalah tokotrienol yang merupakan senyawa dari kelompok vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dan menyehatkan tubuh.

Padahal, negara jiran tersebut hanya mempunyai lima juta hektare lahan perkebunan sawit, yang notabene berada jauh di bawah Indonesia yang memiliki sekitar 16,8 juta hektare.

"Mereka bisa menghasilkan tokotrienol dari sawit. Tokotrienol itu 1 kg harganya 800 dolar AS," ucap dia.

Untuk itu, dia mendorong para pemangku kepentingan khususnya para peneliti kerja lebih keras lagi untuk menemukan formula turunan dari sawit.

Menurut Sahat selama ini ada kesalahpahaman soal sawit yang diperuntukkan untuk minyak goreng, padahal saat sawit dijadikan minyak goreng, otomatis kandungan vitaminnya akan hilang karena suhu panas.

Padahal, lanjut dia, sawit mengandung kadar betacarotene serta tokoferol dan tocotrienol yang relatif tinggi. Betacarotene merupakan sumber vitamin A dan antioksidan sedangkan tokoferol dan tocotrienol yang merupakan salah satu golongan vitamin E yang berasal dari tumbuhan yang juga dapat berperan sebagai antioksidan.

"Sawit menghasilkan vitamin A yang 15 kali dari wortel dan vitamin E yang 20 kali dari minyak zaitun. Minyak zaitun hanya mengandung vitamin E sebesar 51 ppm, sementara kandungan vitamin E minyak sawit jauh lebih tinggi yakni 1172 ppm. Padahal, harga minyak zaitun jauh lebih mahal dibanding sawit," ucap Sahat.

Sahat juga menambahkan yang tidak banyak diketahui soal sawit, yakni komoditas ini merupakan satu-satunya jenis minyak nabati yang mirip dengan kandungan air susu ibu, dengan C18, Octadecenoic Acids yang mencapai 36,3 persen.

"Barang begitu bagus kok dibuat minyak goreng. Gimana itu peneliti peneliti kita PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) itu," ucarnya.

Sahat juga kembali menyinggung kenapa produk turunan sawit di Malaysia lebih banyak dari Indonesia padahal jumlah kebunnya lebih sedikit, tidak lain karena adanya kondusifitas pada para pelaku usaha di sana.

"Enggak tiba-tiba pengusaha didatangi kesatuan pemuda setempat misalnya, kemudian regulasi berubah-ubah. Di Indonesia ini besar potensinya tapi pelaku usaha takut," ujarnya.

Oleh sebab itu, Sahat menekankan perlunya satu badan khusus agar laju industri sawit bisa berjalan optimal sehingga tumpang tindih regulasi yang menghambat industri pada sektor sawit, bisa diselesaikan.

"Agar kondusif jangan Kementerian-kementerian banyak cawe-cawe ke sawit. Kementerian lain hanya supporting. Lebih baik ada satu badan," ucap Sahat.

Dia mengungkapkan jika inovasi proses pengolahan produk sawit diperbaharui, dari perhitungannya total bisnis sawit Indonesia di tahun 2028 bisa mencapai 107,02 miliar dolar AS, atau pertumbuhan usaha di bidang industri sawit bisa tumbuh sebanyak 70,1 persen.

"Kuncinya adalah mereplanting 485.000 ha per tahun. Petani itu harus dibina, jangan dibinasakan. Maka perlu dibantu. Lalu manfaatkan biomass. Per satu ton sawit, bisa 8-9 ton biomass. Rapeseed 1 ton biomass. Kita punya banyak tapi tidak termanfaatkan," tutur Sahat.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Workshop Industri Hilir Sawit Qayuum Amri mengatakan bahwa hilirisasi sawit yang bukan hanya minyak goreng dan mentega saja, tapi juga kosmetik, skincare, lipstick, hingga bio energi, kini mulai mendominasi ekspor sawit Indonesia.

"Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), hampir 80 persen ekspor sawit Indonesia saat ini sudah produk hilir. Hanya sekitar 10-20 persen yang berupa CPO," ucap Qayuum.

Dalam workshop ini, hadir juga perwakilan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), GAPKI, Kementerian Perindustrian, dan akademisi.


Baca juga: BRIN buat larutan pelapis buah berbahan produk turunan kelapa sawit

Baca juga: Kemasan pangan berbasis minyak sawit reduksi efek limbah plastik

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024