Pemilu 2024 di Kota Cirebon bukan sebatas arena pesta demokrasi biasa. Ini adalah panggung di mana keberagaman tidak hanya diakui, tetapi dihargai dan dirayakan.

Cirebon (ANTARA) - Melodi musik “tarling” yang menggema di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cirebon, Jawa Barat, medio Januari lalu, membakar semangat puluhan pekerja untuk segera menuntaskan proses sortir dan lipat lebih dari 1,2 juta lembar surat suara.

Tembang khas Cirebon itu mengalun dan sukses mengusir kejenuhan para pekerja yang tanpa lelah memilah setiap lembar surat suara menggunakan alat sederhana.

Dari pagi hingga sore, gudang seluas 1.200 meter persegi ini tidak pernah sepi. Supaya bisa mendapatkan upah Rp100 ribu dengan menyelesaikan 500 lembar per hari, kelompok pekerja selalu bergegas melibas tumpukan surat suara di depannya.

Petugas gabungan dari KPU hingga kepolisian pun turut hadir, untuk memastikan tahapan sortir dan lipat surat suara ini berjalan sesuai aturan.

Namun di tengah hiruk-pikuk tersebut, sosok perempuan bernama Hafizha Felicia (22) berhasil mencuri perhatian dengan keunikan yang membedakannya.

Meski diam membisu, senyum kecil tergurat pada wajahnya. Ia tampak begitu teliti dan tidak tergesa-gesa saat memeriksa kemudian melipat ribuan surat suara yang dipakai pada Pemilu 2024 nanti.

Rupanya, bagi Felicia, kesibukan di gudang logistik itu tak sekadar mencari cuan tambahan, melainkan menjadi kegiatan menyenangkan dengan tawa riang yang meleburkan semua batasan.

Ia bisa merasakan bagaimana diperlakukan setara dan diterima, tanpa adanya stigma yang kerap menghantuinya.

“Saya senang dan bisa diterima baik di sini,” kata Felicia saat berbincang dengan ANTARA menggunakan bahasa isyarat.

Felicia merupakan salah seorang dari 163 orang pekerja yang direkrut KPU Kota Cirebon, untuk membantu menuntaskan tahap sortir dan lipat surat suara dengan batas waktu selama 10 hari.

Puluhan pekerja berada di gudang logistik KPU Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/1/2024), untuk menyelesaikan tahap sortir dan lipat surat suara. ANTARA/Fathnur Rohman

Mayoritas para pekerja berasal dari warga lokal berusia 17-60 tahun, termasuk Felicia bersama delapan orang rekannya yang menyandang status tunarungu dan tunawicara atau teman tuli.

Tugas yang diberikan KPU Kota Cirebon dianggapnya bukan sebagai beban, melainkan kesempatan langka untuk bisa bercengkerama dengan para pekerja lainnya.

Selama beraktivitas di lokasi ini, ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau dilihat berbeda dengan pandangan negatif.

Sebaliknya, Felicia melihat para pekerja tidak canggung untuk berinteraksi hingga bertegur sapa dengannya. Walaupun komunikasi yang dilakukan memakai bahasa tanpa suara.

Selain itu, ia ingin membuktikan teman tuli sepertinya dapat berpartisipasi aktif mengerjakan berbagai tugas yang diberikan. Apalagi pekerjaannya kali ini berkaitan dengan pesta demokrasi.

Kendati hanya sebatas menyortir dan melipat surat suara, hal tersebut dapat memicu kesadaran bersama bahwa teman tuli dan difabel lainnya harus dianggap sebagai warga negara dengan hak yang sama, tak terkecuali dalam konteks pemilu.

“Saya merasa tugas ini bukan menjadi beban, melainkan kesempatan karena sudah diberi ruang untuk terlibat dalam proses pemilu,” ungkapnya masih dalam bahasa isyarat.

Berkat jerih payah teman tuli dan kekompakan seluruh pekerja lainnya, tahap sortir dan lipat surat suara di Kota Cirebon akhirnya dirampungkan hanya 2 hari atau lebih cepat 9 hari dari target waktu yang ditetapkan.


Suara sunyi teman tuli

Partisipasi Felicia bersama delapan rekannya dalam sebuah tahapan pemilu menjadi langkah awal untuk mewujudkan terciptanya demokrasi yang inklusif.

Terlebih, ia merupakan ketua dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) di Kota Cirebon, sebuah organisasi yang menjadi wadah bagi teman tuli untuk bersuara demi mendapatkan kesetaraan.

Tidak hanya bergerak melalui wadah organisasi, Felicia juga menaruh harapan besar agar nasib dan hak-hak teman difabel menjadi lebih baik setelah terlaksananya pesta demokrasi.

Hal senada disampaikan Tarjono, rekan sekaligus juru bahasa isyarat, yang mendampingi Felicia dan teman tuli lainnya saat berada di gudang logistik KPU Kota Cirebon.

Dari sudut pandang Tarjono, suara sunyi teman tuli di Kota Cirebon perlu didengar, diberikan ruang, dan diterima setara oleh semua pihak.

Ia menilai keputusan KPU Kota Cirebon yang menggandeng penyandang disabilitas, khususnya para teman tuli, sangat tepat.

Selain terfasilitasi untuk mendapatkan upah layak dari sortir dan lipat surat suara, teman tuli dapat merasakan kebersamaan tanpa adanya diskriminasi.

Hafizha Felicia (kiri) dan Tarjono (kanan) melakukan interaksi menggunakan bahasa isyarat di sela-sela tugas mereka saat berada di gudang logistik KPU Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/1/2024). ANTARA/Fathnur Rohman

Dampak positifnya, rasa percaya diri teman tuli meningkat dan mereka tidak malu lagi dalam berinteraksi maupun berkenalan dengan orang baru.

“Daripada menganggur di rumah. Mereka mau diajak sama KPU. Bekerja dari pagi sampai sore, mereka justru semangat dan tidak ada beban,” ujarnya.

Sebenarnya kendala komunikasi verbal yang sering ditemui ketika berinteraksi dengan teman tuli itu dapat disiasati. Contohnya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi atau belajar bahasa isyarat.
Bahasa isyarat menjadi jembatan penting untuk memahami semua hal terkait teman tuli. Berkat keyakinan ini pula, Tarjono mempelajarinya.

Walau tekun belajar, dia mengakui untuk memahami berbagai simbol gerakan dalam bahasa isyarat memerlukan waktu dan kesabaran yang tidak sebentar.

“Menurut saya belajar bahasa isyarat itu penting. Teman-teman tuli diajak secara bahasa verbal tidak bisa. Mungkin pengucapan ada yang bisa. Tidak semua verbal. Budaya mereka itu isyarat,” tuturnya.

Terlepas dari hal tersebut, ia menyatakan proses pemungutan suara yang tinggal menghitung hari lagi itu diharapkan dapat berjalan aman dan damai tanpa adanya kecurangan.

Baik Felicia, Tarjono, dan teman difabel lainnya mendorong KPU Kota Cirebon agar menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) yang lebih ramah dan mendukung bagi teman-teman disabilitas ketika menyalurkan hak suara.


Pemilu ramah disabilitas

Melalui proses pemilu, masyarakat juga menjadi lebih sadar akan hak-hak teman tuli. Hal ini dapat mencakup aksesibilitas fasilitas umum, pendidikan khusus, dan pekerjaan yang mendukung.

Pemilu memberikan kesempatan inklusi bagi semua warga negara, termasuk teman tuli dan difabel. Hak pilih mereka harus dihormati serta dilindungi untuk tetap menyalurkan aspirasi.

Seorang warga melakukan simulasi pencoblosan surat suara pada salah satu TPS di Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (29/1/2024). ANTARA/Fathnur Rohman

KPU sendiri menjamin sebanyak 220 orang pemilih difabel di Kota Cirebon dapat menyalurkan hak suara, dengan disediakan TPS yang mudah diakses dan ramah penyandang disabilitas.

Ketua KPU Kota Cirebon Mardeko menerangkan untuk menghadirkan pelaksanaan pemilu yang pro-inklusi, pihaknya menerjunkan petugas untuk mendampingi difabel pemilih saat pemungutan suara.

Para pendamping bisa berasal dari pihak keluarga maupun petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), yang telah menyatakan diri bersedia menemani pemilih.

Selanjutnya, KPU juga telah menyiapkan surat suara khusus untuk jenis pemilihan presiden dan wakil presiden serta surat suara pemilihan anggota DPD RI yang bisa dicoblos oleh pemilih tunanetra dengan fasilitas huruf Braille.

Akan tetapi tidak semua surat suara, hanya pilpres dan DPD RI. Surat suara itu bisa dibaca oleh pemilih tunanetra.

Secara keseluruhan pada hari pencoblosan 14 Februari 2024, daftar pemilih tetap (DPT) di Kota Cirebon tercatat sebanyak 252.385 orang yang akan menyalurkan hak suara di 1.026 lokasi TPS.

KPU sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Cirebon dan beberapa instansi lain untuk memastikan pelaksanaan pemilu berjalan aman dan damai.

Pemkot Cirebon sejak awal berkomitmen mengawal kesiapan pendistribusian logistik pemilu, terutama antisipasi terhadap kemungkinan dampak bencana atau lainnya.

Pada akhirnya, Pemilu 2024 di Kota Cirebon bukan sebatas arena pesta demokrasi biasa. Ini adalah panggung di mana keberagaman tidak hanya diakui, tetapi dihargai dan dirayakan.

Suara bisu teman-teman tuli menjadi lantunan melodi kebersamaan yang mengetuk nurani para pemangku kepentingan, untuk lebih memperhatikan hak-hak disabilitas dalam mewujudkan arti sebenarnya dari kesetaraan.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024