Untuk anak muda, kalau sama ayahnya tidak cocok, jangan menyerah. Tunjukkan bahwa kamu bisa melakukan yang lebih baik. Dan saat bekerja harus senang hati, nanti bisa dapat hasil yang memuaskan.
Jakarta (ANTARA News) - Banyak anak yang kerap marah pada orangtuanya bila keinginan mereka tidak dipenuhi. 

Sama halnya dengan Indro Yudono, mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Bern-Swiss pada 2001-2005. Di masa remajanya, dia sempat kesal karena sang ayah ogah memberikan uang liburan ke Bandung. Saat itu dirinya masih menjadi pelajar SMA di Yogyakarta, sementara orangtuanya tinggal di Sungai Gerong, Sumatera Selatan.

"Saya ingin buktikan pada bapak bahwa saya bisa pergi meski beliau menolak memberi uang," katanya dalam peluncuran buku karangannya yang berjudul Mr. Ambassador, di Jakarta, Rabu.

Berkat tekadnya hitchhiking, mantan wartawan foto IPHHOS kelahiran 1942 itu bahkan bisa mencapai Bali.

Siapa sangka, perjalanan antarkota yang bertujuan sebagai pembuktian, bagi dirinya maupun orangtua, berujung pada pengalaman melanglang buana di berbagai negara sebagai diplomat. 

"Bali membuka cakrawala bagi saya, selanjutnya bergulir sendiri," tutur lulusan Universitas Indonesia ini.

Bali adalah awal dari perjalanan besar yang dilalui mantan wakil dubes KBRI Bonn-Jerman Barat. Indro Yudono pun melakukan perjalanan nasional, menjelajah nusantara saat dirinya menjadi wartawan foto. Tidak puas melihat Indonesia, dia ingin melihat dunia. Ia pun mulai bekerja di Departemen Luar Negeri pada 1973 dan mengikuti pendidikan berjenjang lalu ditempatkan di berbagai negara.

"Saya ingin melihat dunia dengan cara terhormat, jadi diplomat. Bayangkan Anda di luar negeri, bepergian dengan mobil yang dipasang dengan bendera merah putih, dikawal polisi dengan sirine," kata pria yang juga terinspirasi dari film "The Ugly American" dimana aktor Marlon Brando berakting sebagai duta besar.

Perjalanan internasional dalam dinas diplomatik ke berbagai negara dilaluinya hingga akhirnya menjabat duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Bern, Swiss.

Dari perjalanan hidupnya, dia punya pesan untuk anak-anak muda.

"Untuk anak muda, kalau sama ayahnya tidak cocok, jangan menyerah. Tunjukkan bahwa kamu bisa melakukan yang lebih baik. Dan saat bekerja harus senang hati, nanti bisa dapat hasil yang memuaskan," pesannya.

Sikapnya yang pantang menyerah juga tercermin dari pembuatan buku "Mr.Ambassador". Butuh waktu sekitar delapan bulan untuk menyelesaikannya karena Indro kerap bolak-balik masuk rumah sakit, termasuk amputasi satu lutut yang baru dijalaninya beberapa pekan silam akibat infeksi. Terlebih lagi, sekitar tiga perempat naskah diketiknya dengan satu jari tangan kanan akibat penyakit parkinson. Namun, hal tersebut tidak membuat semangatnya menurun. 

"Justru saya makin termotivasi agar cepat selesai. Saya tidak merasa down. Kalo down bukunya enggak jadi-jadi," tukas pria yang hari ini duduk di kursi roda karena masih terlalu dini untuk memakai kaki palsu.

"Mr. Ambassador" yang mengisahkan perjalanan hidupnya dari wartawan foto menjadi duta besar bisa menjadi penawar rasa penasaran orang-orang yang ingin menjadi jajaran elit Kementerian Luar Negeri.

Buku ini juga diharapkan bisa menjadi penyegar di antara buku serupa yang isinya terlalu serius.

"Saya juga ingin agar buku ini lebih dikenal banyak orang, kalau bisa sampai jadi film," selorohnya.

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013