Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menyampaikan pentingnya memiliki basis data yang kuat sebagai fondasi dalam menjaga ketahanan sekaligus mengendalikan harga pangan di Indonesia.

“Agar harga pangan relatif stabil, perlu dukungan ketersediaan basis data yang kuat. Data pertanian yang valid dan real time mutlak dibutuhkan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi apakah stok pangan di dalam negeri mencukupi atau tidak,” kata Eliza melalui pesan singkat WhatsApp di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, data pertanian yang valid dan dapat diakses secara real time menjadi kunci utama dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi ketersediaan stok pangan di dalam negeri.

Eliza menegaskan bahwa menghitung stok pangan memerlukan data yang komprehensif, termasuk produksi pangan dalam negeri, impor, ekspor, dan penggunaan pangan untuk keperluan lain.

Basis data pertanian, lanjut Eliza, tidak hanya dibutuhkan pada tingkat produksi tetapi juga harus mencakup seluruh rantai pasok komoditas pangan.

“Secara sederhana stok pangan di dalam negeri dihitung dari produksi pangan di dalam negeri ditambah impor dikurangi ekspor dan dikurangi penggunaan pangan untuk kegiatan lain,” jelas Eliza.

Dia menyampaikan bahwa struktur pasar komoditas pertanian yang cenderung oligopsoni di tingkat petani dan oligopoli di tahap selanjutnya dapat menciptakan ketidakseimbangan informasi.

Kondisi ini berpotensi merugikan konsumen dan petani sebagai produsen, membuka peluang praktik rent seeking yang dapat menghambat pertumbuhan pasar.

Menurut Eliza data yang tidak memadai dapat memicu praktik rent seeking, seperti upaya spekulasi yang mengakibatkan kenaikan harga secara artifisial dan berpotensi meningkatkan tingkat inflasi.

Oleh karena itu, peningkatan dan perbaikan basis data pertanian dianggap krusial sebagai langkah awal untuk mencapai transparansi, keadilan, dan efisiensi dalam sektor pangan Indonesia.

Menurutnya, dengan memastikan data yang akurat dan mudah diakses, Indonesia dapat memperkuat ketahanan pangan serta menjaga kesejahteraan konsumen dan produsen dalam sistem ekonomi yang dinamis.

“Ketiadaan data mengundang para rent seeker untuk mengambil keuntungan, memicu upaya spekulasi sehingga harga naik secara artifisial dan mengerek inflasi,” kata Eliza.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan termasuk beras terjadi akibat faktor cuaca dan rusaknya beberapa akses infrastruktur sehingga menghambat distribusi komoditas pangan.

Plt Kepala BPS Amalia A. Widyasanti saat menyampaikan Berita Resmi Statistik di Jakarta, Kamis (1/2), menjelaskan secara umum kenaikan harga beras terjadi di 28 provinsi, sedangkan harga beras di 10 provinsi lainnya menunjukkan penurunan. Kemudian, seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Bali Nusra disebut mengalami kenaikan harga beras.

Amalia menyampaikan tingginya harga beras dipengaruhi oleh suplai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan permintaan yang tinggi.

Salah satu isu yang menyebabkan tingginya harga beras adalah beberapa negara penghasil beras menahan ekspornya sehingga menyebabkan pasar global relatif naik. Sedangkan faktor pendukung dari dalam negeri lantaran produksi beras terhalang oleh El Nino.


Baca juga: CORE: Harga adil di produsen penting demi jaga minat tanam petani

Baca juga: Ekonom: BLT bantu daya beli masyarakat kelas bawah akibat inflasi


Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2024