Pemimpin itu tidak semata-mata bisa merebut dan mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memberikan perhatian pada aspek keabsahan
Jakarta (ANTARA) - Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan bahwa calon pemimpin bangsa harus memiliki nilai keberanian dan tahu diri yang telah “alpa” sejak lama di panggung politik.

"Kalau kita perhatikan, sebenarnya banyak pemimpin yang punya ambisi politik besar dan itu rasa-rasanya jadi modal terpenting bagi sebagian calon pemimpin. Sayangnya, mereka lupa bahwa mereka mesti punya keutamaan, yaitu nilai keberanian dan tahu diri," kata Arif dalam diskusi media 'Capres dan Kinerja: Kala Rekam Jejak jadi Acuan' yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat.

Arif menjelaskan, pemimpin yang berani adalah sosok pemimpin yang mau dan bisa bertarung untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki secara sah.

"Pemimpin itu tidak semata-mata bisa merebut dan mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memberikan perhatian pada aspek keabsahan," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, sosok pemimpin masa depan juga harus berani tidak populer untuk tujuan yang lebih besar dan menderita demi kemuliaan bersama.

"Seharusnya pemimpin itu adalah orang pertama yang berani berkorban untuk kepentingan orang banyak, bukan menuntut pengorbanan orang banyak untuk dirinya," kata dia.

Baca juga: Analis politik: Jokowi miliki reputasi pandai merangkul lawan

Baca juga: Analis politik: Calon pemilih perlu punya tiga modal penting


Ia mencontohkan Sutan Syahrir yang maju ke meja perundingan di masa perundingan Linggarjati. Pada saat itu, langkah yang diambil Syahrir dianggap membawa konsekuensi politik, yaitu wilayah Indonesia belum diakui secara penuh, namun membawa Indonesia setara dengan mitra perunding-nya.

"Kita bisa mengatakan bahwa langkah Syahrir mungkin mengandung kelemahan, tapi bukan salah 100 persen sebab dengan maju ke meja perundingan, Syahrir bisa membawa Indonesia selevel dengan lawan perunding-nya, yaitu Pemerintah Belanda yang sebelumnya bahkan tidak mengakui eksistensi Indonesia," tutur Arif menjelaskan.

Poin kedua yang ditekankan oleh Arif adalah seorang pemimpin harus tahu diri, utamanya kepada dirinya sendiri dan lingkungannya. Selain itu, calon pemimpin juga tidak boleh memaksakan ambisi kekuasaan.

Kedua poin tersebut lekat hubungannya dengan etika yang tak tertulis dalam aturan dan hanya berupa kebiasaan. Meski begitu, calon pemimpin harus paham dan menjunjung tinggi etika.

"Bernegara itu bukan hanya harus berlandaskan hukum, bernegara itu juga perlu menjunjung tinggi etika. Kalau ada seorang calon wakil presiden membungkuk-bungkuk di depan orang yang lebih senior, saya akan menyebut itu sebagai etiket. Namun, kalau ‘mengangkang’ konstitusi, itu bukan hanya unethical, itu illegitimate," ujarnya.

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024