Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pemain film Women from Rote Island mengaku harus banyak melakukan riset ke jalan hingga menonton film dengan isu serupa guna mendalami peran yang dilakoni selama proses syuting berlangsung.
 

“Aku dibantu Pak Jeremias dan teman-teman untuk bisa mendalami karakter. Aku juga suka nonton dan review film yang bersangkutan dengan kesehatan mental,” kata Irma Rihi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
 

Berperan sebagai Martha yang hidup dengan trauma dan depresi akibat mengalami kekerasan seksual, Irma dituntut untuk memainkan peran tersebut melalui mimik muka yang tersorot kamera secara intens tanpa banyak dialog yang diucapkan.
 

Irma mengaku setelah ditawari dan terpilih ikut bermain film yang berkaitan dengan keluarga dan kesehatan mental itu, dirinya  tertantang untuk menonton lebih banyak film dengan tema atau isu serupa.

Baca juga: Linda Adoe ajak anak NTT percaya diri dan gali potensi bakat terpendam

Baca juga: Women from Rote Island ajak masyarakat hentikan kekerasan seksual

 

Dari sana ia mempelajari raut wajah, gestur dan suara yang cocok untuk dicoba selama proses syuting. Apalagi terdapat kemiripan antara sifatnya dan Martha yang cenderung jarang berbicara atau mengungkapkan perasaan.
 

“Kami bisa dibilang introvert. Jadi kalau mendalami peran Martha sendiri, susah-susah gampang bagiku,” katanya.
 

Berbeda dengan Willyam Wolfgang yang berperan sebagai Ezra, pria dengan kelainan seksual yang tertarik untuk melakukan hal tak senonoh dengan Martha.
 

Willyam mengaku karakternya yang berbeda dengan sang tokoh menuntutnya untuk melakukan riset lebih.

Ia harus melakukan banyak pengamatan di jalan hingga mengobservasi rumah bordil. Semua itu tidak hanya untuk perannya, tetapi juga menjalankan tugasnya sebagai assistant casting director.
 

“Waktu itu kita dapat kandidat kuat untuk memerankan karakter Martha, tetapi begitu tahu ada adegan vulgar, dengan tiba-tiba dia menolak, dia belum siap. Kita cari lagi dengan terpaksa kita cari-cari, mendekati beberapa hari, seminggu, kita belum dapat sedangkan reading sudah mulai harus dilakukan, Kita coba cari kan ada adegan yang lumayan vulgar siapa tahu dari komunikasi itu dapat, tapi kita cari tetap enggak dapat,” katanya.
 

Beruntungnya, empat hari sebelum proses pembacaan naskah, Willyam bertemu dengan sahabatnya yang juga merupakan teman baik Irma. Akhirnya ia berhasil membawa Irma untuk ikut audisi.
 

Tidak hanya itu, ia juga merasa beruntung karena dengan melakukan riset di tempat-tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya itu, dapat membantunya dengan mudah menjiwai karakter Ezra.
 

Kemudian Linda Adoe yang memainkan Mama Orpa juga menambahkan, ikatan para pemain semakin menguat ketika diharuskan hidup di sebuah rusun tiga bulan lamanya bersama-sama. Pengalaman itu membuat pemain jadi lebih menyatu dan memahami karakter masing-masing.
 

“Karena itu melalui film ini, untuk korban harus berani melawan, berani lapor dan harus bangkit karena kalian sangat berarti. Dan untuk kalian para pelaku, sorry to say tapi kalian lebih jahat dan bengis dari binatang,” ucap Linda.
 

Willyam ikut mengajak masyarakat untuk menonton film mereka karena kisahnya yang menyoroti betul budaya partriaki yang hingga kini memarjinalkan kaum perempuan sambil berharap jumlah kasus kekerasan seksual semakin berkurang.
 

“Mudah-mudahan dengan menonton film ini kita bisa tersadarkan dan harus melawan budaya-budaya patriarki itu,” ucapnya.
 

Bercerita tentang Orpa (Linda Adoe), yang baru saja kehilangan suami dan tinggal bersama kedua anak perempuannya, harus menghadapi diskriminasi dan tradisi dengan berjuang mendapatkan keadilan dari kekerasan yang dirinya dan anaknya alami.

Baca juga: Pengamat: Potensi penonton bioskop Indonesia bisa tembus 80 juta orang

Baca juga: Industri film Indonesia diprediksi sedot 60 juta penonton pada 2024

 

Di sisi lain, Martha (Irma Rihi), anak dari Orpa pulang ke kampung halaman membawa trauma kekerasan seksual yang dialaminya saat menjadi TKI.
 

Ketika warga di kampungnya mengetahui kondisi Martha, bukannya mendapatkan perlindungan, Martha justru kembali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Orpa dan keluarganya harus menghadapi diskriminasi dan bertahan dengan kondisi yang tak berpihak pada mereka.
 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024