Samarinda (ANTARA) - Di sebuah kampung tepian Sungai Mahakam angin berhembus semilir. Para perempuan di perkampungan ini tampak beraktivitas merajut benang-benang di atas alat tenun "Gedokan". Mereka mengayunkan alat itu dengan penuh asa guna menjaga tradisi, menghasilkan karya khas sarung Samarinda.

Wajah Haninah (65), seorang perempuan perajin tampak berbinar. Dia tak lelah untuk menjaga kelestarian kain tenun khas Samarinda. Lebih dari 30 tahun hidupnya didedikasikan untuk melestarikan tradisi leluhur ini.

Di Kampung Tenun, Kecamatan Samarinda Seberang, Samarinda, tradisi menenun sarung bukan sekadar mengisi waktu luang, tetapi juga nadi kehidupan. Dari generasi ke generasi, perempuan di kampung ini mewariskan keahlian mereka, menenun benang-benang menjadi sebuah karya yang bermakna.

Di Ibu Kota Kalimantan Timur, Samarinda, yang dijuluki "Kota Tepian" ini, tak hanya menawarkan wisata susur Sungai Mahakam yang memesona. Tapi, di balik gemerlap modernitas, Samarinda menyimpan warisan budaya yang tak ternilai.

Kampung Tenun membawa pengunjungnya menyelami jejak sejarah dan tradisi masyarakat Bugis yang telah mengakar selama ratusan tahun. Kampung ini didirikan oleh para bangsawan Bugis yang hijrah dari Kerajaan Bone dan Wajo pada abad ke-16 akibat peperangan dan penolakan mereka untuk tunduk kepada Hindia Belanda.

Memasuki Kampung Tenun Samarinda, pengunjung akan disuguhi dengan deretan rumah panggung tradisional yang dihiasi dengan corak khas kain tenun sarung Samarinda. Beberapa rumah warga juga memampang hasil karya yang disebut "Tajong Samarinda".  Tajong dibuat dengan ketekunan, juga ketelitian.

"Untuk menghasilkan satu helai kain, bisa 2-3 hari, tergantung kesibukan lain di rumah," ucap Makerena (55),  seorang perajin lainnya saat memintal benang.

Hal yang khas dari sarung Samarinda terletak pada proses pembuatan yang masih manual. Ciri khas lainnya adalah diameternya yang lebar, yaitu 80 sentimeter, dan panjangnya dua meter, dengan jahitan sambungan di bagian tengah yang dibuat manual menggunakan tangan.

Mengikat peradaban lampau

Irwan Said Rahim, tokoh masyarakat setempat, menceritakan kerajinan sarung tenun Samarinda pada mulanya dibawa oleh pendatang Suku Bugis dari Sulawesi. Mereka mendiami kawasan Tanah Rendah, yang sekarang dikenal sebagai Samarinda Seberang, sejak tahun 1668.

Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo membawa warga Sulawesi Selatan, termasuk Suku Bugis mencari tempat berlindung. Dengan potensi tanah yang subur dan dihuni oleh komunitas yang ramah, mereka pun lantas berlabuh di Samarinda. Di sanalah mereka mulai mengembangkan budaya menenun, yang kemudian dikenal sebagai tenun Samarinda.

Berkunjung ke Kampung Tenun Samarinda bukan hanya tentang berbelanja kain tenun yang indah, tetapi juga tentang merasakan pengalaman edukasi yang tak terlupakan. Pengunjung dapat menyaksikan langsung, bahkan belajar menenun, dari para perajin yang berpengalaman dan ramah. Pengalaman ini tentu akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi dan nilai budaya yang terkandung dalam setiap helai kain tenun.

Selain belajar menenun, pengunjung juga dapat berkeliling kampung untuk melihat proses pembuatan sarung Samarinda secara langsung, mulai dari pemilihan benang, pewarnaan, hingga penenunan.

Kampung Tenun Samarinda merupakan destinasi wisata edukasi yang unik dan menarik. Inilah wadah yang tepat sebagai pelestari budaya nenek moyang serta menggenjot industri kreatif masyarakat lokal.

Namun begitu, di tengah gegap gempita Kota Samarinda yang semakin modern, tentu perjuangan menjaga tradisi di Kampung Tenun menjadi tantangan tersendiri. Minimnya regenerasi pegiat tenun sarung Samarinda dan persaingan kain tenun dari daerah lain menjadi ancaman kelestarian budaya yang turun temurun diwariskan oleh para generasi perintis Kota Tepian.

"Banyak anak muda yang tidak tertarik untuk belajar menenun, memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih mudah dan menjanjikan," tutur Irwan Said Rahim, yang juga Ketua Rukun Tetangga (RT) 2 Kelurahan Tenun, Samarinda.

Di sinilah kegigihan para perajin senior seperti Haninah, Makerena, serta 80-an perempuan paruh baya lainnya di sana, menjadi tumpuan harapan.

Meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan, melodi tradisi tenun Samarinda tidak surut. Di Kampung Tenun, para perajin terus berkarya, berinovasi, dan beradaptasi mengalir dengan zaman.

Menjaga identitas daerah

Sejarawan Kalimantan Timur, Muhammad Sarip, menuturkan bahwa Kampung Tenun telah lama dikenal sebagai permukiman para perajin sarung Samarinda. Keunikan sarung ini terletak pada proses pembuatannya yang masih menggunakan alat tenun manual dan motifnya yang merupakan perpaduan corak Kutai dan Bugis.

Motif sarung merah tua dengan kotak-kotak hitam bahkan pernah menghiasi lambang Kota Samarinda pada tahun 1960 hingga 1998.  Dalam setiap helai kain tenun mengandung nilai sejarah dan budaya . 

Lebih menarik lagi, tradisi menenun di Kampung Tenun yang didominasi oleh kaum perempuan bukanlah tanpa alasan. Dahulu kala, para orang tua di kampung ini sengaja mengajari anak perempuan mereka menenun sebagai bekal kehidupan. Bagi mereka, menenun bukan hanya tentang menghasilkan kain, tetapi juga tentang melestarikan budaya dan nilai-nilai luhur.

Bagi orang tua tempo dulu, lebih baik anak-anak perempuan disibukkan dengan kegiatan menenun ketimbang keluyuran di luar rumah tanpa faedah. 

Di Kampung inilah, para penenun dengan cekatan menggerakkan jemari mereka, menjalin benang demi benang hingga tercipta motif-motif indah yang penuh makna.

Di tengah arus modernisasi, Kampung Tenun tetap teguh berdiri, menjadi bukti nyata bahwa budaya dan tradisi adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan jati diri sebuah masyarakat.

Mereka merajut benang-benang harapan, melestarikan warisan budaya yang tak ternilai. Di tangan-tangan terampil mereka, tradisi tenun Samarinda terus bergema, menitipkan pesan tentang identitas dan budaya kepada generasi penerus.

Kampung Tenun Samarinda adalah sebuah permata di tepian Mahakam. Di sini, tradisi dan modernitas bertemu, berpadu dalam sebuah melodi yang indah dan inspiratif. Sebuah melodi tentang warisan budaya yang dijaga dengan cinta dan kegigihan, sebuah melodi yang akan terus bergema di sepanjang aliran Sungai Mahakam.

Tata ruang dibenahi

Di tengah masyhurnya kain tenun Samarinda, tersembunyi sebuah ironi. Kampung Tenun, sentra industri kain tradisional kebanggaan Kalimantan Timur ini, masih terganjal oleh tata ruang yang kurang optimal dalam menunjang pengembangan wisata kreatif. Salah satu contohnya adalah Jalan Pangeran Bendahara Samarinda Seberang, koridor publik utama di kampung tersebut.

Jalan ini, meski memiliki potensi besar sebagai area tepi sungai (riverfront) dan promenade, belum memaksimalkan akses visual ke arah Sungai Mahakam. Letak ruang belakang pada bangunan-bangunan di jalan ini pun membelakangi sungai, menghasilkan limbah air yang mengotori dan merusak citra kampung wisata.

Kenny Lesmana, dalam studinya berjudul "Perancangan Kawasan Riverfront Berkelanjutan di Kampung Tenun Samarinda dengan Pendekatan Creative Tourism dan Studi Space Syntax" mengungkapkan bahwa kurangnya ruang kegiatan pariwisata di Jalan Pangeran Bendahara Samarinda menghambat interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal. Itu salah satu indikator utama wisata kreatif, partisipasi aktif wisatawan dalam proses kreatif, terhalang oleh minimnya akses menuju hunian para penenun.

Keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) menumbuhkan optimisme daerah penyangga untuk memperkuat sektor pariwisata sebagai tumpuan perekonomian masyarakat lokal. Maka, tatanan indah dan kreatif akan sebuah kampung semestinya dipertajam.

Wisatawan, dalam studi Kenny, jika memiliki ruang lebih dalam berpartisipasi aktif dengan penduduk setempat pada saat memproduksi kain tenun, maka kunjungan mereka tentu lebih lama. Ini menghasilkan interaksi yang lebih mendalam antara masyarakat lokal dengan wisatawan.

Interaksi itu menghasilkan pengalaman berkesan bagi para pengunjung. Sebab, pengunjung bukan sekadar melebur untuk belajar menenun, namun mengikat emosional dengan keramahan penduduk lokal.

Membawa pengunjung menjadi bagian dari proses kreatif lebih dari sekadar membelanjakan produk akhirnya, sehingga tatanan ruang akses Kampung Tenun Samarinda penting untuk dipikirkan ke depannya.

Jangan sampai upaya dalam mengembangkan Kampung Tenun sebagai destinasi wisata tradisi unggulan, justru terkubur dalam tata ruang yang kurang bersahabat.


Menyatukan modernitas- tradisi

Di tepian Sungai Mahakam, Samarinda Seberang, bersiap menyambut era baru pariwisata. Dermaga wisata yang dirancang apik akan menjadi gerbang utama bagi pengunjung untuk menjelajahi kekayaan budaya dan sejarah kawasan ini.

Dermaga wisata bukan hanya tentang program pembangunan, akan tetapi juga soal membumikan nilai-nilai historis dan budaya khas Samarinda. Masjid Shiratal Mustaqiem, yang merupakan masjid tertua, akan menjadi landmark utama di kawasan ini. Sebuah angin segar meramaikan wisatawan, menghubungkan nadi kehidupan kampung wisata yang berdekatan: Kampung Tenun dan Kampung Ketupat.

Membangun dermaga wisata tanpa menggusur nilai-nilai sosial menjadi komitmen Pemkot Samarinda. Tentunya, semangat melestarikan kearifan lokal menjadi ruh dari pengembangan kawasan tersebut.

Kapal-kapal wisata modern akan mengantarkan pengunjung menyusuri Sungai Mahakam, menyapa jejak sejarah dan budaya Samarinda Seberang.

Pembangunan dermaga wisata diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan dan mendorong ekonomi lokal. Masyarakat setempat akan menjadi bagian penting dalam roda pariwisata Samarinda Seberang.

Itulah dermaga wisata Samarinda Seberang yang akan menjelma sebagai simbol kemajuan yang tidak melupakan warisan budaya. Sebuah penghubung destinasi wisata yang memadukan pesona modernitas dengan kearifan lokal.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024