Jakarta (ANTARA) -
Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, dr. Sony Wicaksono menyampaikan bahwa selain terapi obat-obatan, terapi psikologis juga tak kalah penting untuk mendukung anak yang sedang menjalani kemoterapi.
 
"Selain terapi obat-obatan, terapi psikologisnya juga sangat penting untuk saling menguatkan dan memberi informasi tentang efek samping (kemoterapi), jadi sekarang itu ada banyak relawan yang membantu memantau ke rumah untuk memberikan terapi suportif itu," kata Sony dalam siniar oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang diikuti di Jakarta, Selasa malam.
 
Ia menegaskan, terapi suportif dari peer group dan relawan atau orang tua yang sudah melewati fase kemoterapi sangat penting untuk mendukung kesembuhan anak.
 
"Terapi suportif dari orang tua yang lain, komunikasi yang baik itu sangat penting. Jadi orang tua itu juga saling curhat, misalnya ada efek yang berbeda setelah kemoterapi, sesama orang tua itu bisa lebih dekat, saling curhat satu sama lain," ujar dia.
 
Ia juga menekankan agar orang tua segera membawa anak-anak berobat apabila memang mengalami sakit, utamanya setelah kemoterapi, karena dokter selalu siap mendampingi anak-anak selama pengobatan kanker.
 
"Orang tua supaya merasa aman, didukung, dukungan dari kita dokter itu juga penting, kita sebisa mungkin membantu, meski hanya sebatas konsultasi via WhatsApp atau telepon," ucapnya.
 
Ia juga mengemukakan, kemoterapi sebaiknya tetap dilakukan sesuai jadwal, utamanya di fase induksi, di mana pada fase tersebut obat-obatan yang diberikan akan mengeradikasi sel kankernya sebanyak mungkin.

Baca juga: Perawat: Jaga kebersihan agar anak tetap sehat setelah kemoterapi

Baca juga: Perawat paparkan sejumlah cara kuatkan mental anak penderita kanker
 
"Secara garis besar, kalau tidak ada kondisi yang mengancam anak itu, sebaiknya kemoterapi tidak ditunda, biasanya orang tua itu takut kalau anaknya disarankan kemoterapi, padahal lebih cepat lebih baik agar sel kankernya tidak semakin menyebar," tuturnya.
 
Ia juga menjelaskan, ada tiga efek samping kemoterapi pada anak, yakni efek jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
 
"Pada umumnya, obat-obatan kemoterapi itu memang bertahan di dalam sirkulasi darah sekitar 2-3 hari, kemudian dia akan dibuang melalui urine, lalu pasien akan diistirahatkan apabila memang siklusnya sudah selesai, dan selanjutnya dia akan menjumpai siklus berikutnya," paparnya.
 
Sayangnya, ia melanjutkan, ada beberapa efek jangka pendek dan menengah, seperti mual, muntah, rambut rontok, dan kulit mengering, untuk itu ia menekankan pentingnya tetap melakukan kontrol minimal sebulan sekali untuk dilakukan skrining.
 
"Jangka panjang kita harus selalu memantau, jadi selepas adik-adik menjalani kemoterapi, kalau sudah dinyatakan remisi (berkurangnya gejala penyakit), kita tidak bisa melepaskan begitu saja, kita harapkan mereka untuk tetap kontrol, tetap datang ke poli rawat jalan setidaknya satu bulan sekali," ujarnya.
 
Kontrol tersebut diperlukan agar dokter tetap bisa melakukan skrining atau melihat efek samping pada tulang, apakah ada efek anemia (kurang darah merah) yang berkepanjangan, atau terjadi penurunan leukosit (sel darah putih) dan trombosit (keping darah) yang agak lama, juga untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi atau pucat.

Baca juga: Mengenal Imunoterapi, opsi pengobatan kanker selain kemoterapi

Baca juga: Pasien kanker bisa konsumsi hidangan dingin usai kemoterapi

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024