Nairobi (ANTARA News) - Fred Bosire yang bekerja pada bagian daging sebuah supermarket di mal Westgate, Nairobi, seperti biasa sibuk, ketika pembantaian bermula.

Dia tiba-tiba terjebak di antara ratusan kolega dan pembeli saat orang-orang bersenjata menerebos mal dan menembaki secara membabi buta dengan senapan otomatis.

"Saya menyaksikan orang-orang berjatuhan di sekitar saya. Orang-orang berjongkok di belakang konter daging dan saya tergencet namun punya cukup ruang untuk terbaring, pertama wajah dulu," kata Bosire (35) di atas ranjang rumah sakit.

Semula dia mengira itu perampokan. "Saya melihat sejumlah pembeli mondar mandir, mendorong kereta belanja pelan-pelan, mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi. Mereka, seperti saya, mengira tembakan akan berlangsung sebentar saja," kata dia seperti dikutip AFP.

Lalu dia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan tengah terjadi. "Saya sebelumnya tak berpikiran kamilah targetnya, tapi kemudian saya mendengar para penembak berbicara.  Awalnya sulit memahami apa yang mereka omongkan karena mereka berbicara campur-campur Bahasa Inggris, Kiswahili dan bahasa Arab.  Tapi saya tahu kami berada dalam bahaya."

"Kalian telah menduduki negeri kami, kalian telah memperkosa perempuan-perempuan kami dan membunuh orang tua-orang tua kami, dan kini waktunya kami menuntut balas," kata para penembak seperti ditirukan Bosire.

"Saya mendengar teriakan, tangisan meminta pertolongan...mereka menembak siapa pun yang terbaring di lantai," kata Bosire.

Dia mengaku mendengar seorang perempuan yang mengaku dia dan anak-anaknya sebagai warga Prancis.

"Saya tahu dia bersama anak-anaknya karena mereka terus menangis dan salah seorang dari teroris itu menyuruh mereka diam. Saya ingat ibu anak-anak itu dibilangi teroris dengan 'Kamu beruntung kami tidak membunuh anak-anakmu' dan si ibu diperintahkan untuk membawa anak-anaknya dan berlari," kata Bosire kepada AFP.

Dia kemudian mendengar seorang lagi perempuan mengaku warga Prancis. "Saya punya uang, ambilah sesuka kalian. Saya mendengar omongan kalimat perempuan itu. Namun para teroris menembaknya."
 
Istirahat untuk minum


Bosirfe mengatakan konter dagingnya ditembaki dan dia mendengar apa yang dia lukiskan sebagai bunyi pelan pada daging. Dia kemudian mendapati bunyi itu adalah peluru yang menembus kakinya.

"Saya hanya menyadari saya telah tertembak saat saya mulai merasa kedinginan, ketika saya merasakan darah meresap melalui baju dan saat saya melihat ke bawah, melihat bagaimana peluru telah merobek celana saya, rasanya ingin teriak, tapi saya tahu tak boleh mengeluarkan suara, bahkan tak boleh menggerakkan otot-otot."

Orang-orang bersenjata ini kemudian mengalihkan perhatian ke botol-botol anggur, wiski dan bir yang berjejer di supermarket. Kemudian dia pingsan.

"Ketika saya bangun suasana sudah sepi. Teggorokan saya kering. Saya menjulurkan lidah saya dan berusaha bergerak namun kaki saya tak mau bergerak. Saya merasakan ponsel saya bergetar-- istriku menelepon, dan saya kira saya akan mati sehingga mengambil risiko untuk menjawabnya," kenang dia.

"Saya ingat saya bilang pada dia  'saya sekarat, tolong jangan ratapi saya,'" kata Bosire.

Dia juga meminta istrinya untuk tak memberitahu kematiannya kepada anaknya sampai ujian sekolah berakhir bulan depan. "Saya bilang pada dia jangan lagi menelepon saya, karena saya sedang sekarat."

Orang-orang bersenjata itu kemudian kembali, kata dia.

"Saya mendengar mereka membuka yang saya kira lemari minuman bersoda ketika saya mendengar semburan gas yang keluar ketika kita membuka tutup soda atau botol," kata Bosire yang mengaku melihat sekilas para pembunuh itu.

"Saya bisa melihat kaki mereka menggantung saat mereka duduk sesaat untuk istirahat setelah membunuh. Ada lima pasang kaki menggantung. Pakaian dan sepatu mereka berlumuran darah."

Salah seorang mereka masih muda sekali, dan bersuara seperti perempuan.

"Beberapa lama kemudian mereka berteriak, 'jika kalian masih hidup, kami akan membolehkan kalian pergi.  Saya mendengar beberapa wanita menjawab. Saya berharap mereka tak menjawab. Saya berharap mereka bertahan, karena saya mendengar mereka ditembak dengan darah dingin."

Setelah berjam-jam berbaring tak sadarkan diri, Bosire mendengar ada orang-orang berbicara dalam Bahasa Kiswahili dan melihat sepatu-sepatu tentara.

"Salah seorang prajurit berkata dia belum pernah melihat mayat begitu banyak. Dia mengguncangkan kaki saya untuk memastikan apakah saya masih hidup...Saya berusaha menjawab namun yang saya dengar hanya suara lenguhan. Tapi itu sudah cukup," kenang Bosire.

"Saya tak mengingat banyak sejak itu. Saya ingat kaki saya ditempelkan ke lantai, diikatkan pada sabuk salah seorang tentara yang membawa saya keluar, dan saya mengingat wajah-wajah berlumuran darah ketika kami keluar."

Bosire kini berada di sebuah rumah sakit di Nairobi untuk dirawat.  "Saya tahu presiden telah berpidato bahwa mimpi buruk itu telah berakhir, tapi bagi saya tidak.  Saya tetap tak bisa menerimanya. Itu adalah hari terburuk dalam hidup saya."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013