Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana Wira Kusuma diancam hukuman 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar karena didakwa melakukan korupsi dalam pengadaan kotak suara pemilu 2004. Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyatakan Mulyana bersama-sama dengan pegawai KPU RM Purba telah melanggar Keppres No. 18 tahun 2000 tentang pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah dalam pelaksanaan pemilu 2004. "Terdakwa I Mulyana W Kusuma dan terdakwa II Richard Manusung Purba masing-masing sebagai Ketua dan sekretaris panitia pengadaan kotak suara pemilu 2004 tidak melaksanaan proses pengadaan sesuai dengan aturan yang ada," kata JPU Khaidir Ramli dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu. Dalam surat dakwaan setebal 21 halaman tersebut JPU menjelaskan terdakwa I dan terdakwa II bersama-sama dengan Sihol P Manullang (terdakwa kasus yang sama dalam berkas terpisah) dinilai telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara melawan hukum sehingga merugikan keuangan negara. Mulyana maupun RM Purba dinilai melanggar hukum sesuai Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui undang-undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHPidana untuk dakwaan primair. Sedangkan untuk dakwaan subsidair, kedua terdakwa dinilai melanggar hukum sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui undang-undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHPidana. "Terdakwa I dan terdakwa II dalam rangka pengadaan kotak suara pemilu tahun 2004 dalam proses untuk mengikuti prakualifikasi tidak membuat syarat-syarat secara lengkap yang harus dipenuhi perusahaan atau rekanan," kata JPU. Masih dalam surat dakwaannya JPU menjelaskan terdakwa I Mulyana setelah menetapkan perusahaan yang lolos prakualifikasi agar membentuk konsorsium, padahal seharusnya itu sejak awal sudah dijelaskan. Sementara terdakwa II memerintahkan saksi Kusmanto dari KPU untuk menambah atau mengubah data tiga perusahaan yang sebenarnya tidak lulus prakualifikasi dengan tujuan ketiganya lolos prakualifikasi dan menjadi anggota konsorsium. "Bahwa ketiga perusahaan yaitu PT Lima Wira Wisesa, PT Nadia Mitra Wangi dan PT Bukit Permata Batu pada kenyataannya tidak pernah mengikuti pelelangan pengadaan kotak suara 2004," kata anggota tim JPU lainnya Endro Wasistomo. Adapun konsorsium itu dikoordinir oleh Dirut PT Survindo Indah Prestasi Sihol P Manullang dengan anggota selain ketiga perusahaan tersebut diatas juga PT Cipta Kreasi Packindo, PT Buana Cipta Agung dan PT Telaga Palma Kencana. "PT Survindo Indah Prestasi dalam kontrak harus mengadakan 2.194.155 buah kotak suara dengan nilai sebesar Rp311,3 miliar," ujar JPU. Namun dalam pelaksanaan pengadaan kotak suara, konsorsium tersebut sama sekali tidak melaksanakan sendiri pekerjaan utama yaitu perakitan kotak suara dan hanya sekedar menyediakan bahan baku sementara pekerjaan lainnya disubkontrakkan sehingga bertentangan dengan Keppres No.18 tahun 2000. Akhirnya dibuat adendum sebanyak dua kali oleh KPU untuk merevisi jumlah kotak yang dikerjakan oleh PT Survindo dari 2.194.155 menjadi 419.420 kotak dengan nilai Rp59,5 miliar. Namun karena perusahaan tersebut telah mengerjakan 440.526 kotak maka KPU melakukan pembayaran Rp62,5 miliar. "Dari rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa I dan terdakwa II telah memperkaya Sihol P Manullang atau orang lain atau PT Survindo Indah Prestasi dengan kerugian negara Rp15,5 miliar," kata JPU lainnya Agus Salim. Majelis hakim yang diketuai oleh Murdiono akan melanjutkan persidangan pada Rabu (23/8) dua pekan yang akan datang dengan agenda mendengarkan eksepsi dari terdakwa I dan terdakwa II dan masing-masing penasehat hukumnya. Mulyana saat ini masih menjalani hukuman di LP Cipinang atas kasus suap terhadap auditor BPK Khairiansyah Salman senilai Rp300 juta dan divonis dua tahun tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Khusus Tipikor pada 12 September 2005.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006