Denpasar (ANTARA) -
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar tidak menemukan adanya unsur pemaksaan dalam penarikan sumbangan pengembangan institusi (SPI) di Universitas Udayana oleh terdakwa I Nyoman Gde Antara.

Hal itu terungkap dalam amar putusan Majelis Hakim Agus Akhyudi dan kawan-kawan dalam sidang putusan terhadap terdakwa I Nyoman Gde Antara di Pengadilan Tipikor Denpasar, Bali, Kamis.

Dalam amar putusannya, majelis hakim mempunyai pendapat berbeda dengan jaksa penuntut umum (JPU).

Menurut majelis hakim, tidak terbukti adanya perbuatan terdakwa I Nyoman Gde Antara secara sengaja dan melawan hukum melakukan pemaksaan kepada mahasiswa yang mendaftar di jalur mandiri Universitas Udayana.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai mahasiswa yang mendaftar secara sadar telah memilih jalur mandiri di Universitas Udayana, yang secara umum telah diketahui pada pokoknya kalau mendaftar jalur mandiri pasti ada uang sumbangan (SPI).

Baca juga: Mahasiswa Unud harap rektor tersangka dugaan korupsi SPI "dimiskinkan"

Hakim berpandangan sistem pendaftaran melalui website bukanlah suatu sistem yang disebut memaksa seorang mahasiswa.

Proses penerimaan mahasiswa secara daring adalah model yang digunakan oleh semua perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta. Sehingga, masih menurut majelis hakim, sistem tersebut tidak bisa disebut perbuatan memaksa.

Berdasarkan fakta persidangan dan ketentuan yang berlaku, pungutan SPI Unud dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Menristekdikti Nomor 39 Tahun 2017, sehingga pungutan SPI tersebut tidak bisa dikatakan pungutan liar.

"Bahwa terhadap adanya fakta mahasiswa yang membayar SPI di program studi yang tidak seharusnya dipungut SPI menurut SK rektor, majelis hakim berpendapat oleh karena semua uang SPI yang dipungut tersebut masuk ke rekening resmi Unud dan masih tersimpan sampai sekarang di rekening resmi UNUD, maka pungutan tersebut bersifat kesalahan administrasi," kata hakim.

Oleh karena itu, Universitas Udayana dapat melakukan mekanisme pengembalian kepada mereka yang seharusnya tidak dipungut.

Baca juga: Jaksa ajukan kasasi terhadap putusan mantan rektor Universitas Udayana

Terkait fakta bahwa uang pungutan SPI di situs penerimaan mahasiswa baru terbit lebih dahulu daripada SK rektor, hakim menilai hal itu juga bukan perbuatan melawan hukum secara pidana, melainkan kesalahan administrasi dalam penerimaan mahasiswa baru, yang menunjukkan buruknya pengelolaan manajemen penerimaan mahasiswa baru di Unud.

Selanjutnya, terhadap fakta pungutan SPI tidak dimuat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) tentang pungutan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Unud, majelis hakim berpendapat bahwa ada PTN lain yang juga tidak mengatur SPI tetapi memungut SPI.

Hakim memutuskan dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tersebut, tidak ada aturan tentang kewajiban pungutan SPI harus dimuat dalam PMK. Sehingga, pungutan SPI berdasarkan SK rektor tidak bertentangan dengan hukum.

Oleh karena itu, majelis hakim mengadili terdakwa I Nyoman Gde Antara tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu primer, subsider; dakwaan kedua; dan dakwaan ketiga.

Baca juga: Mantan Rektor Universitas Udayana divonis bebas dari dugaan korupsi

Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2024