Pertanyaannya, sudahkah Indonesia serius menggali segala potensi yang dimiliki China, selama menjadi mitra strategis sejak 25 April 2005?
Beijing (ANTARA News) - Pada 1 Oktober 2013, Republik Rakyat China memperingati hari jadinya ke-64, hanya berselang satu hari sebelum Presiden Xi Jinping melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 2--3 Oktober.

Dalam usianya yang telah lebih dari setengah abad itu, China makin memantapkan peranannya dalam dasawarsa kedua abad 21, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya, tidak saja di Asia tetapi juga internasional.

Meski tidak terlepas dari guncangan krisis finansial global yang tak kunjung menunjukkan pemulihan, serta kisruh politik di sebagian wilayah dunia yang juga tak kunjung mereda, China tampil percaya diri menjalankan perannya tidak saja di tingkat regional tetapi juga global.

Sebagai penerus kepemimpinan China yang berkesinambungan sejak era Deng Xiaoping pada era 1990-an, Xi Jinping dan Li Keqiang terus memainkan peranan strategis China dalam setiap kebijakan luar negerinya tanpa niat membangun hegemoni di Asia Pasifik, Asia Timur termasuk ASEAN, dalam beragam bidang.

Sejak kebijakan reformasi dan keterbukaan digulirkan Den Xiaoping pada 1979, China terus berbenah dan kini semakin percaya diri baik di lingkup percaturan politik internasional maupun di dalam derap diplomasinya. China terus berbenah diri, mereformasi dirinya untuk tidak lagi menjadi salah satu kekuatan yang selama ini dikategorikan sebagai middle power.

China benar-benar terus memantapkan dirinya menjadi sebagai kekuatan adidaya. Interaksi China dengan negara-negara tetangganya di Asia dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang dalam skala ekonomi, politik, dan militer, menunjukkan China semakin membuktikan diri sebagai salah satu kekuatan besar yang sejajar dan setara dengan negara-negara besar lainnya.

Berbagai isu dan aktivitas politik serta ekonomi seperti Semenanjung Korea, nuklir Iran, Suriah, serta makin diterimanya Beijing Consensus, yang menerapkan prinsip state-driven economy dan social harmony, membuktikan China kini semakin menjadi kekuatan besar yang berpengaruh.

Setelah liberalisasi ekonomi pada 1978 China kini tercatat sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Hal itu antara lain terlihat dari GDP China pada 2012 yang mencapai 7,552 triliun dolar AS atau lebih tinggi 9,2 persen dibandingkan GDP 2011 yang tercatat 6,989 triliun dolar AS.

Terkait pendapatan tahunan, pada 2011 tercatat sekitar 1,659 triliun dolar AS atau meningkat 24,8 persen.

Sementara itu, sebagai kekuatan dagang terbesar kedua dunia setelah AS, total perdagangan China pada 2011 tercatat mencapai 3,64 triliun dolar AS atau meningkat 22,49 persen dari 2010 yang mencapai 2,97 triliun dolar AS.

Dari total perdagangan itu sebesar 3,64 triliun dolar AS itu, ekspor China ke pasar dunia adalah 1,897 triliun dolar AS dan impor sekitar 1,74 triliun dolar AS atau surplus sekitar 157 miliar dolar AS.

Produk ekpsor China ke pasar dunia adalah perangkat permesinan dan listrik, pakaian, tekstil, baja, besi, pelengkapan optik, dan kesehatan. Negara tujuan ekspor terbesar China adalah AS (18 persen), Hongkong (13,8), Jepang (7,6), Korea Selatan (4,4), dan Jerman (4,3).

Sedangkan produk yang diimpor China adalah perangkat permesinan dan alat listrik, minyak dan bahan bakar mineral, perlengkapan optik dan kesehatan, bijih besi, plastik, dan kimia organik.

Sementara negara asal impor adalah Jepang (12,6 persen), Korea Selatan (9,9), AS (7,3), Jerman (5,3), dan Australia (4,3).

Pertanyaannya, sudahkah Indonesia serius menggali segala potensi yang dimiliki China, selama menjadi mitra strategis sejak 25 April 2005?

Mitra Strategis

Keseriusan China terhadap Indonesia sebagai mitra strategis ditunjukkan dengan pilihan Presiden Xi Jinping untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang dikunjunginya, sejak resmi menjabat sebagai orang nomor satu di Negeri Panda pada Maret 2013.

China melihat Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara yang memegang peranan penting tidak saja secara politik di forum ASEAN tetapi juga secara ekonomi, sebagai pangsa pasar yang potensial bagi produk-produk China.

Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Imron Cotan mengatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan positif hubungan kedua negara yakni faktor komplementaris, baik dari segi kepentingan geo-politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Namun sejauh mana Indonesia memanfaatkan potensi serta peluang tersebut dalam hubungan dengan China sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao sepakat menjadikan Indonesia dan China mitra strategis pada 25 April 2005.

Sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia, kini China tercatat memiliki cadangan devisa dalam mata uang asing sekitar 3,5 triliun dolar AS. Namun dengan potensi yang dimiliki, investasi yang ditanamkan China ke Indonesia hingga 2012 baru mencapai 2,02 miliar dolar AS, demikian data dari China-ASEAN Business Council.

Padahal sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan total GDP mencapai 1 triliun dolar AS plus pertumbuhan ekonomi yang positif, perbaikan iklim investasi didukung stabiltas politik yang relatif stabil, Indonesia bisa dapat menjadi negara tujuan yang menarik bagi investor asing, terutama dari China.

Di sektor perdagangan total nilai yang dicapai Indonesia-China pada 2012 tercatat 66,6 miliar dolar AS, dan diharapkan meningkat 80 miliar dolar AS pada 2015. Bandingkan dengan volume perdagangan China-Malaysia, negara kedua di Asia Tenggara yang akan dikunjungi Xi Jinping, yang ditargetkan mencapai 100 miliar dolar AS pada kurun waktu yang sama.

Di sektor pariwisata, Indonesia juga masih relatif kecil menyerap pangsa pasar China yang sangat potensial.

United Nations World Tourism Organizations (UNWTO, 2013) mendudukan China di peringkat pertama sebagai sumber pasar wisata dengan jumlah pengeluaran mencapai 102 juta dolar AS pada 2012 atau naik 40 persen dari 2011 yang hanya 73 juta dolar AS.

Sedangkan jumlah wisatawan China yang bepergian ke luar negeri meningkat pesat dari 10 juta pada 2000 menjadi 83 juta pada 2012. Sedangkan jumlah pelancong China yang berkunjung ke Indonesia pada 2012 tercatat 726.088, atau lebih rendah dibandingkan jumlah wisatawan China ke Malaysia yang mencapai 1,56 juta orang dan Thailand sebesar 2,7 juta orang.

Di sektor pendidikan, Indonesia juga belum menjadi negara tujuan bagi para pelajar dan calon mahasiswa China. Untuk ASEAN negara tujuan utama pendidikan bagi calon pelajar dan mahasiswa China adalah Singapura (88.457 orang), Thailand (12.712), Malaysia (8.965), Vietnam (1.079), dan Filipina dengan 452 orang.

Berdasar data Atase Pendidikan di KBRI Beijing jumlah pelajar dan mahasiswa China hingga Juli 2013 yang menempuh pendidikan di Indonesia tercatat 327 orang, sedangkan jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di China yang mencapai 13.114 orang.

Tanpa menafikan beragam capaian dan nilai yang berhasil diraih selama satu dasawarsa lebih kemitraan strategis, Indonesia harus lebih dapat memaksimalkan, lebih serius, menggarap segala potensi dan peluang yang dimiliki China bagi kepentingan nasional yang lebih baik.

Sejumlah agenda serta nota kerja sama yang akan disepakati dalam rangkaian kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia, hendaknya bisa menjadi acuan baru bagi pemerintah, pelaku bisnis dan para pemangku kepentingan lainnya, guna menjadikan China sebagai sebenar-benarnya mitra strategis atas dasar saling percaya, menghormati, tidak saja bagi kepentingan kedua negara yang setara, tetapi juga bersama-sama membangun Abad Asia.

Oleh Rini Utami
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013