Beijing (ANTARA) - Saat Festival Musim Semi kali ini, Alvin (21), seorang mahasiswa asal Indonesia yang menempuh studi di China, membuat tahu seberat 20 kilogram dengan bantuan masyarakat lokal di sebuah desa di wilayah Baofeng, Provinsi Henan, China tengah.

"Saya menggiling kacang kedelai menjadi bubur halus, menambahkan air untuk membuat susu kedelai, lalu menuangkannya ke dalam panci besar. Setelah dididihkan menggunakan kayu bakar selama setengah jam, itu berubah menjadi kembang tahu yang lembut dan kenyal," ujarnya saat mengenang pengalaman tersebut, "ini merupakan pengalaman yang berkesan bagi saya, perayaan Festival Musim Semi di China yang spesial."

Lahir di Pulau Sumatra, Alvin diterima di Universitas Tsinghua untuk mempelajari bahasa Mandarin pada 2020. Memiliki akar Tionghoa dari kakek-neneknya, dia sangat akrab dengan China sejak kecil, menumbuhkan minat yang kuat terhadap budaya China yang begitu mendalam, yang mendorongnya untuk memilih universitas di China tersebut sebagai tempat studi.

Ini pertama kalinya bagi Alvin untuk benar-benar menjelajahi area pedesaan di negara itu dan merasakan pesona autentik Festival Musim Semi di pedesaan. "Selama festival itu, semua anggota keluarga berkumpul untuk merayakannya. Kebersamaan dan antusiasme yang ditunjukkan oleh masyarakat China merupakan hal yang sangat berharga di mata saya," urainya.

Saat liburan musim dingin kali ini, Alvin memulai perjalanannya ke Kota Shenyang, Kota Dalian, dan Provinsi Henan bersama teman-teman kuliahnya, berharap memperoleh wawasan yang lebih dalam perihal sejarah, budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa di China.

"(Suhunya) sungguh dingin namun itu memberikan semangat untuk merayakan Festival Musim Semi di China timur laut," tuturnya sambil tersenyum. "Saya juga beruntung dapat melihat suasana kesibukan warga ke pasar utama menjelang festival tersebut. Selain itu, saya juga menyaksikan pertunjukan kembang api yang memukau di Dalian."

Alvin merasa Festival Musim Semi kali ini begitu istimewa dan semarak bagi seluruh warga China mengingat ini adalah Tahun Naga, yang dianggap sebagai totem (simbol) yang signifikan bagi masyarakat China.Sebagai anggota tim bulu tangkis Universitas Tsinghua, Alvin bahkan mendapatkan baju bulu tangkis berhiaskan desain bertema Tahun Naga.

Festival Musim Semi juga dirayakan sebagai hari libur di Indonesia mengingat banyaknya komunitas Tionghoa yang tinggal di negaranya, menurut Alvin.

Berbagai kebiasaan yang dilakukan saat Festival Musim Semi di Indonesia memiliki kemiripan yang jelas dengan apa yang ada di China, seperti menempelkan kuplet, menyalakan kembang api, serta mementaskan tari naga dan barongsai.   

"Banyak aspek dari budaya kelompok etnis minoritas di China memiliki kemiripan dengan budaya di Indonesia, termasuk tato, pakaian, dan makanan," katanya.

Alvin mengungkapkan bahwa dirinya sangat tertarik dengan bordir China, yang memiliki sejumlah kesamaan dengan pakaian tradisional di negaranya. Contohnya, naga juga dianggap sebagai simbol keberuntungan di Indonesia..

"Kini, masyarakat Indonesia juga mulai mengenal tradisi dan budaya China. Contohnya, mereka mengenakan baju merah dan memberikan angpao kepada anak-anak saat Festival Musim Semi. Banyak warga setempat bahkan berpartisipasi dalam pertunjukan tari naga dan barongsai," ungkap Alvin.

Mengingat kakek-neneknya lahir di Provinsi Guangdong di China, keluarga Alvin masih mempertahankan beberapa tradisi Tahun Baru Imlek hingga saat ini. Setiap tahun, ibunya menaruh uang keberuntungan di bawah bantal Alvin. Selama dua tahun terakhir, dia juga memasak makan malam saat Malam Tahun Baru dan membuat pangsit untuk teman-temannya.

Dengan antusiasme yang tinggi terhadap budaya China, Alvin mengungkapkan kekagumannya pada musik etnis yang kaya dan semarak dan warna-warni busana dari berbagai kelompok etnis di China, yang memiliki beberapa kemiripan dengan keanekaragaman budaya di Indonesia.
 


Alvin, WNI asal Sumatera  yang juga mahasiswa Universitas Tsinghua  sedang memeras adonan tahu  wilayah Baofeng, Provinsi Henan, China tengah. (Xinhua)
 


 "Banyak aspek dari budaya kelompok etnis minoritas di China memiliki kemiripan dengan budaya di Indonesia, termasuk tato, pakaian, dan makanan."

Alvin mengungkapkan bahwa dirinya sangat tertarik dengan bordir China, yang memiliki sejumlah kesamaan dengan pakaian tradisional di negaranya. Contohnya, naga juga dianggap sebagai simbol keberuntungan di Indonesia.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir di Universitas Tsinghua, Alvin sangat menikmati suasana kampus yang harmonis, dan berniat untuk melanjutkan studinya sebagai mahasiswa pascasarjana. Setelah lulus, dia berharap dapat bekerja di China untuk pengembangan karier profesionalnya.

"Saya ingin menjadi duta budaya, yang memupuk rasa saling pengertian antara Indonesia dan China," kata Alvin.

Menurutnya, pariwisata, musik, dan olahraga adalah sarana terbaik untuk menggenjot pertukaran budaya di antara kedua negara. Pertukaran budaya dan pembelajaran timbal balik antarperadaban merupakan hal yang sangat penting yang dapat menjembatani kesenjangan antarnegara untuk lebih meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya, tutur Alvin.

"China merupakan negara yang kuat dan makmur, tetapi masih banyak warga Indonesia yang belum mengenal China. Saya berharap kedua negara dapat menjalin lebih banyak pertukaran dan kerja sama di tingkat budaya, untuk menumbuhkan pemahaman bilateral dan persahabatan," ujar Alvin.

Berkat perjalanannya ke berbagai kota di seluruh China, Alvin kini memperoleh pemahaman budaya China yang komprehensif beserta manifestasinya yang begitu beragam. Dia sering membagikan foto-foto perjalanannya di China via WeChat kepada teman-teman dan keluarganya.

"Indonesia juga memiliki sumber daya wisata yang kaya, sehingga saya berharap dapat mengundang lebih banyak teman-teman China saya ke negara kami untuk berwisata, atau merayakan Festival Musim Semi khas kami, untuk merasakan budaya istimewa Indonesia," katanya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024