... intervensi kebijakan publik menjadi penting, apalagi tak ada yang bisa memaksa platform-platform digital membuka algoritma mereka,
Jakarta (ANTARA) - Bapak pendiri bangsa Amerika Serikat yang juga presiden ketiga negara itu, Thomas Jefferson, pernah berkata "jika saya yang harus memutuskan apakah kita mesti mempunyai pemerintahan tanpa surat kabar, atau surat kabar tanpa pemerintahan, maka saya tak akan ragu memilih yang terakhir."

Kalimat itu melukiskan pentingnya pers dalam konteks bernegara dan berdemokrasi sampai kemudian disebut pilar keempat demokrasi.

Kesadaran mengenai pentingnya pers membuat tatanan-tatanan demokrasi di mana pun selalu berusaha meninggikan pilar keempat itu.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas yang dikenal dengan Perpres "Publisher Rights", bisa dipahami dalam konteks itu.

Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Februari 2024 adalah salah satu wujud keberpihakan negara dalam merawat dan menguatkan pilar keempat demokrasi, yang pada era digital ini menghadapi tantangan yang sangat hebat akibat lanskap bisnis media yang sudah sangat berubah.

Tantangan itu demikian hebatnya sampai banyak lembaga pers bertumbangan akibat disrupsi pada model bisnis media.

Perusahaan media menjadi sulit untuk kompetitif, padahal menjadi kompetitif sangat menentukan eksistensi media dan pada akhirnya bisa menentukan eksistensi pilar keempat demokrasi.

Jika pilar itu lenyap maka tatanan nasional bakal liar yang pada akhirnya bisa membuat negara dalam kekacauan.


Perlindungan hukum

Dalam era serba-digital sampai ke titik paling privat dalam kehidupan manusia seperti terjadi saat ini, keharusan untuk tetap kompetitif telah menuntut perusahaan pers untuk bersaing dalam semua platform.

Tuntutan itu tak bisa dihadapi sendirian oleh pers karena membutuhkan asistensi dan proteksi dari sistem kebijakan publik mengingat pers bergerak di ranah publik dan bekerja untuk publik.

Bantuan dan perlindungan sistem kebijakan ini penting guna memastikan perusahaan pers mendapatkan kejelasan dan pengakuan atas hak-haknya.

Sebaliknya, ketidakjelasan akan menguntungkan mereka yang mengambil keuntungan dari pers, ketika pers justru sudah berinvestasi banyak untuk menghasilkan produk atau konten.

Perusahaan pers tentu tak hanya ingin terus memenuhi permintaan pembacanya, tapi juga kebutuhan untuk terus inovatif, tetap berkualitas, dan profesional.

Namun demi itu semua, perusahaan pers membutuhkan investasi dengan harapan mendatangkan keuntungan balik atau paling tidak membuat perusahaan pers bertahan.

Upaya mempertahankan kelangsungan hidup pers menjadi krusial karena dewasa ini pers bisa menjadi garda terdepan dalam melawan disinformasi dan hoaks yang makin sulit ditapis dari informasi yang benar.

Dalam konteks inilah perusahaan pers membutuhkan kepastian hukum bahwa konten mereka terlindungi sehingga bisa memonetisasi buah kerja mereka sendiri.

Kepastian hukum ini sangat diperlukan untuk memastikan hak-hak perusahaan pers ketika konten mereka digunakan secara tidak sah oleh entitas komersial lain, termasuk oleh platform-platform digital.

Entitas baru yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari media itu telah mengubah model bisnis media, terutama dalam bagaimana perusahaan pers memperoleh iklan yang adalah vital dalam anatomi bisnis media, walau bukan satu-satunya sumber pendapatan bisnis media.


Tidak seimbang

Masalahnya, untuk memonetisasi konten, perusahaan-perusahaan pers menghadapi tantangan besar, terutama ketika sudah berkaitan dengan platform-platform digital yang dominan menentukan popularitas. Padahal aspek inilah yang memancing masuknya iklan dan pada akhirnya pemasukan keuangan.

Situasi itu diperburuk oleh republikasi konten tidak sah oleh entitas-entitas komersial lain, yang makin memperburuk masalah lama yang sudah dihadapi pers, yaitu pembajakan karya cipta.

Dampak republikasi konten secara tidak sah, sangatlah negatif karena membuat perusahaan pers tidak memperoleh pendapatan dari konten mereka yang digunakan pihak lain.

Dalam konteks bisnis media digital di mana hampir seluruh media massa saat ini mengandalkan platform berbasis internet, itu artinya tiadanya lalu lintas web. Padahal ini bagian teramat penting dalam mendatangkan iklan yang menjadi nyawa terpenting bisnis media.

Sebaliknya, situs web  atau platform digital yang memperoleh konten dari perusahaan pers malah menikmati trafik web yang tinggi sehingga iklan masuk dan kemudian memberikan pendapatan ketika saat bersamaan perusahaan pers berinvestasi banyak untuk konten.

Di sini, ada ketidakadilan antara penyedia atau pembuat konten dengan penyalur konten, yakni berupa pembagian kue iklan yang tidak adil dan seimbang.

Alhasil, timbul kesenjangan antara mereka yang telah berinvestasi untuk memproduksi konten, dengan mereka yang meredistribusi konten, termasuk media sosial dan mesin pencari.

Intinya, di satu sisi ada devaluasi konten yang dirasakan pembuat konten, tapi di sisi lain terjadi surplus pendapatan dari mereka yang mengagregasi dan menyebarkan konten.

Konstruksi ini membuat pendapatan iklan makin terdilusi, yang kerap memaksa perusahaan pers mengurangi ketergantungan kepada iklan dan berinovasi untuk lebih bergantung pada pendapatan konten.


Demi keadilan digital

Namun upaya mengurangi ketergantungan kepada iklan dan berinovasi agar lebih menggantungkan diri kepada konten itu sulit sekali dilakukan ketika platform digital begitu memonopoli ruang siber.

Pemikiran seperti inilah yang mendorong sejumlah pembuat kebijakan di beberapa kawasan, termasuk Australia, Uni Eropa, dan Indonesia turun tangan memastikan perusahaan pers mendapatkan hak-haknya.

Bahkan pemerintah Australia saat ini berencana menjatuhkan denda kepada platform-platform digital yang menyebarluaskan hoaks dan disinformasi. Padahal, yang diuntungkan oleh hoaks adalah platform digital dan produsen hoaks sendiri karena merekalah yang dapat memonetisasi lalu lintas digital konten-konten bohong.

Manakala konten-konten semacam itu sudah sangat mengganggu tatanan kehidupan sehingga perlu dilawan, pers justru menjadi garda terdepan dalam memastikan kabar itu bohong dengan menyajikan informasi-informasi benar dan kredibel yang pastinya membutuhkan sumber daya dan investasi yang besar.

Ironisnya, perusahaan pers acap kesulitan memonetisasi konten anti-hoaks sehingga memperdalam persoalan ketidakadilan dalam monetisasi konten.

Di sinilah, intervensi kebijakan publik menjadi penting, apalagi tak ada yang bisa memaksa platform-platform digital membuka algoritma mereka. Pun tak ada yang menjamin mereka bebas dari intervensi pemerintah di mana mereka berbasis.

Kenyataannya, negara-negara seperti Amerika Serikat dan China sendiri kerap saling mencurigai imunitas platform-platform digital mereka dari campur tangan pemerintah mereka atas nama kepentingan nasional, khususnya dalam hal pengelolaan data pengguna.

Amerika Serikat adalah tempat berbasis Meta (perusahaan induk untuk Facebook, Instagram, dan lainnya) dan Alphabet Inc (perusahaan induk untuk Google dan YouTube), sedangkan China adalah tempat berbasis perusahaan-perusahaan teknologi seperti ByteDance yang merupakan pemilik aplikasi berbagi video TikTok.

Kedua negara kerap saling curiga tentang di mana data pengguna disimpan, dan seberapa aman data itu dari kemungkinan digunakan oleh pemerintah mereka.

Untuk semua itu, dan demi pilar keempat demokrasi, transparansi dan keadilan digital antara pembuat dan penyalur konten, mutlak ada aturan pasti seperti Pepres "Publisher Rights".

Jadi, kebijakan menerbitkan "Publisher Rights" layak dibaca sebagai kepedulian Pemerintah RI menjaga eksistensi pilar keempat itu untuk ikut menjaga kehidupan demokrasi yang sehat dan nirhoaks.





 

Copyright © ANTARA 2024