Negara harus memikirkan bagaimana memperlakukan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dari proses rekrutmen hakimnya. Sistem yang ada saat ini jelas cenderung menimbulkan konflik kepentingan, sehingga muncul kasus seperti yang dialami Akil Mochtar,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Sistem rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi harus diubah untuk memperkecil potensi konflik kepentingan yang berujung pada praktik koruptif, kata mantan hakim di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sahlan Said.

"Negara harus memikirkan bagaimana memperlakukan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dari proses rekrutmen hakimnya. Sistem yang ada saat ini jelas cenderung menimbulkan konflik kepentingan, sehingga muncul kasus seperti yang dialami Akil Mochtar," kata Sahlan di Yogyakarta, Kamis.

Ia mengatakan potensi konflik kepentingan itu terjadi antara lain disebabkan pengangkatan calon hakim MK diwajibkan dari tiga unsur, yakni unsur Mahkamah Agung (MA), unsur legislatif, serta unsur eksekutif.

"Sesuai Undang-undang, saya juga mempertanyakan mengapa rekrutmen anggota majelis MK terdiri dari tiga unsur yakni tiga DPR, tiga eksekutif, dan tiga MA," katanya.

Padahal, seluruh persoalan yang diujikan ke MK adalah terkait produk politik. Sehingga, apabila salah satu anggota MK misalnya merupakan bagian dari unsur legislatif yang notabene pembuat Undang-undang, tentu akan menimbulkan konflik kepentingan.

"Bayangkan saja, orang yang pernah terlibat dalam pembuatan undang-undang harus menguji undang-undang itu sendiri, sehingga potensi konflik kepentingannya sangat besar," katanya.

Sehingga, menurut dia, proses seleksi anggota majelis MK seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada tim seleksi independen.

Sedangkan pihak legislatif serta pemerintah seharusnya cukup menjadi bagian dari lembaga penyeleksi, bukan lembaga unsur.

"Merekalah yang seharusnya mendorong siapa kandidat mereka, bisa saja berasal dari orang luar," katanya.

Masyarakat serta Komisi Yudisial (KY), menurut dia juga perlu dilibatkan, sebagaimana mengacu Pasal 19 UU MK yang menyebutkan proses seleksi anggota majelis MK harus transparan dan terbuka.

Selain itu, seperti halnya yang dilakukan dalam proses rekrutmen Komisi Pemilihan Umum (KPU), seharusnya calon anggota MK yang dari unsur politik harus berhenti dulu dalam kegiatan politiknya selama beberapa tahun.

"KPU saja yang hanya merupakan wasit dari proses kontestasi politik harus berhenti lima tahun. Apalagi MK yang seluruh kasusnya adalah kasus politik," katanya.
(KR-LQH/M008)

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013