Jakarta (ANTARA News) - Rencana pengeboran secara miring (relief well) guna mengatasi luapan lumpur Lapindo Brantas Inc dinilai sudah terlambat. "Seharusnya, sudah sekitar 1-2 minggu sejak terjadinya `blow out` dilakukan `relief well`, sehingga luapan lumpur tidak meluas seperti sekarang ini," kata praktisi migas John Sadrak Karamoy usai bedah buku "The Oil Man, Kita Juga Bisa" yang merupakan kisah dan pengalamannya di Jakarta, Kamis. Menurut dia, pengeboran miring sepertinya menjadi sia-sia dengan kondisi luapan lumpur sekarang ini, sehingga alternatif terbaik dari yang terburuk adalah mengalirkannya ke laut. John yang juga mantan CEO dan Preskom PT MedcoEnergi Tbk mengatakan, berdasarkan kejadian serupa sebelumnya baik di Arun, Aceh maupun Jatibarang, Jabar, penanganan dapat dilakukan dengan segera. "Saat itu, semua pihak terkait memberikan dukungannya, sehingga dampak buruknya bisa diminimalkan," ujarnya. Ia juga menambahkan, seharusnya, sejak awal Lapindo diberikan kebebasan dalam menangani kejadian itu, sehingga luapan lumpur tidak terlalu meluas. "Karenanya, saya sesalkan kelambanan penanganan yang dilakukan para pihak yang terkait dalam kasus ini. Sepertinya, tidak ada `sense of crisis,`" katanya. Tanggul setinggi 3-6 meter sebagai penghalang luapan lumpur pada Kamis pagi ini jebol, sehingga luapan lumpur semakin meluas. Luapan lumpur yang diduga berasal dari aktivitas pemboran sumur migas Banjar Panji-1 milik Lapindo di Porong, Sidoarjo telah berlangsung sejak 29 Mei lalu. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda akan berakhir dan dikhawatirkan terus akan meluas. Akibat luapan lumpur, ratusan hektar areal permukiman, persawahan, pabrik, dan jalan tol tergenang dengan ketinggian mencapai 5-6 meter. Sebuah LSM, Greenomics memperkirakan kerugian akibat lumpur itu mencapai lebih dari Rp33 triliun.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006