Suap sudah menjadi jalan hidup di sini (Indonesia)."
Jakarta (ANTARA News) -  Mata mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie nanar. Sesekali giginya menekan bibirnya menyiratkan kesal tiada tara. Suaranya bergetar menahan emosi. Kalimat pedas lalu tercetus dari mulutnya.

"Pantasnya orang ini dihukum mati," kata Jimly menunjuk Ketua Mahkamah Konstitusi non aktif Akil Mochtar yang ditangkap KPK dalam kaitannya dengan dugaan suap pada kasus sengketa dua Pilkada.

Kemarahan Jimly adalah kemarahan nasional. Bangsa ini memang pantas murka oleh pelecehan hukum yang alang kepalang telanjang itu.

Hanya orang yang tak peduli pada masa depan negeri ini yang diam tak terusik oleh penyalahgunaan wewenang yang sudah keterlaluan itu.

Badai hukum itu kian menegaskan korupsi dan praktik suap telah menjalari semua sendi bangsa, bak kanker yang menggerogoti tubuh. Bahkan ini telah lama diketahui dunia.

"Suap sudah menjadi jalan hidup di sini (Indonesia)," kata seorang eksekutif puncak Eropa seperti tertulis pada laporan Control Risks, satu lembaga konsultasi internasional mengenai risiko politik dan keamanan.

Sedangkan Simon Butt, akademisi hukum dari Australia, menyebut korupsi amat mewabah di Indonesia.

"Pada banyak kasus, termasuk kasus korupsi, polisi bisa "dibujuk" untuk menghentikan investigasi, menghilangkan barang bukti penting, atau menyampaikan sangkaan ringan. Dalam perkara suap, jaksa kerap menghentikan penuntutan atau menyampaikan dakwaan yang lemah, atau sanksi lunak. Intinya, kekebalan bagi mereka yang berkasus namun mau dan mampu menyuap sebagai jalan keluar dari jerat hukum," tulis Simon Butt dalam laporan Control Risks tahun 2013 tersebut.

Dari pernyataan itu, jelaslah praktik korupsi dan bobroknya sistem penegakan hukum Indonesia sudah menjadi rahasia umum dunia.

Tapi, begitu seorang ketua mahkamah konstitusi ditangkap KPK karena suap, dunia tetap saja kaget, tak menyangka kebobrokan itu jauh lebih parah dari yang dikira, dan mungkin membatin, 'bagaimana mungkin seorang hakim yang memimpin lembaga di mana rakyat mencari keadilan bisa disuap?'

Tak heran jika media seluruh dunia mengekspos berita penangkapan Akil Mochtar, seolah berlomba mengingatkan dunia betapa tinggi stadium korupsi di Indonesia.

Selubung korupsi

Mereka yang tak rela bangsanya dijarah "para bedebah" --meminjam kata dalam sajak aktivis Indonesia Bangkit Adhie Massardi-- bangkit menyeru dihentikannya kebobrokan.

Bahkan wacana hukuman mati untuk koruptor pun menguat. Bukan hanya karena hukum sekarang tak bisa membuat jera orang-orang serakah, namun juga karena hukum telah kentara dipermainkan orang-orang berkuasa yang tak ragu menghinakan rasa keadilan.

Ilustrasi penghinaan pada rasa keadilan itu bisa tergambar pada ketiga orang ini; Liu Zhijun, nenek Minah, dan Irjen Djoko Susilo.

Djoko divonis 10 tahun penjara karena terbukti mengorupsi uang negara sebesar Rp121 miliar, padahal di China, mantan menteri perkeretaapian Liu Zhijun yang juga mengorupsi uang negara sebesar itu (10,53 juta dolar AS atau sekitar Rp121 miliar), divonis hukuman mati.

Liu Zhijun bahkan dihukum mati atas uang korupsi yang diakumulasinya selama 25 tahun, antara 1986 hingga 2011.

Akan halnya Minah, nenek ini divonis satu bulan pada September 2009 karena mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100 atau hanya "satu per 57 juta" jumlah uang yang dikorupsi Djoko Susilo.

Minah memang tak dipenjara, tapi vonis terhadapnya amat mengusik rasa keadilan, apalagi jika dibandingkan dengan vonis terhadap para koruptor.

Ini kian mengusik ketika saat bersamaan, para koruptor, dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya, bisa membayar orang untuk membuat tafsir hukum yang meringankan, bahkan melepaskan mereka dari jerat hukum.

Mereka bahkan dapat membalikkan asas praduga tak bersalah sebagai selubung untuk menutupi prilaku buruknya atau pemakluman untuk laku korupnya, sementara pasal pencemaran nama baik, mereka manipulasi untuk mengintimidasi dan mementalkan upaya menegakkan keadilan.

Koreksi demokrasi

Tapi kini, setelah seorang ketua mahkamah tertinggi ditangkap KPK, pembajakan hukum seperti itu harus dipastikan tak boleh lagi terjadi sehingga rasa keadilan tak terus dinistakan.

Pemastian itu tak hanya dengan memastikan koruptor dihukum setimpal dengan kejahatannya atau dengan sanksi seberat-bertanya, tapi juga dengan menutup celah-celah yang menjadi awal mempermainkan hukum, yaitu proses politik.

Dalam kaitan itu, proses politik dalam bingkai demokrasi harus dipastikan tak dipakai sebagai pintu masuk bagi orang-orang tamak untuk berkuasa karena manusia jenis ini akan menyelewengkan kekuasaan dan mempermainkan hukum begitu mereka berkuasa.

Apalagi, praktik demokrasi saat ini justru kian menyuburkan pragmatisme brutal dari orang-orang yang hanya memburu akses ke kekuasaan demi mengincar kas negara atau membangun gurita koncoisme dan nepotisme gaya baru demi memuluskan kongkalikong.

Sebaliknya, demokrasi harus dipastikan untuk mendudukkan orang-orang benar dalam kekuasaan, termasuk sistem peradilan, agar sistem penegakan hukum berlaku selurus KPK.

Seleksi penegak hukum pun harus memastikan tak ada afiliasi apa pun yang menyertainya, khususnya pesan politik. Para hakim hanya boleh bersekutu dengan kebenaran dan keadilan.

"Jangan sampai jadi alat partai politik," kata anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat.

Lagi pula, sulit menepis persinggungan kepentingan politik dalam penanganan kasus hukum jika semua kunci hukum ditentukan politik yang dibesarkan oleh sistem demokrasi berselimutkan pragmatisme ekstrem seperti saat ini terjadi.

Kasus Akil Mochtar menguatkan logika itu.

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013