Nanning (ANTARA) - Di Dongxing, sebuah kota di perbatasan China-Vietnam di Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan, seorang master Duxianqin bernama Su Haizhen (51), yang juga seorang ahli siter senar tunggal, sedang menyetel alat musik unik tersebut.

Su Haizen hendak memulai sesi terakhirnya sebelum berangkat ke pertemuan "Dua Sesi" yang akan datang.

"Dua Sesi" merupakan pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional (National People's Congress/NPC), badan legislatif tertinggi China, dan Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (Chinese People's Political Consultative Conference/CPPCC), sebuah badan penasihat di mana Su menjadi salah satu delegasinya.

Lahir dan dibesarkan di Dongxing, Su berasal dari etnis Jing, sebuah kelompok etnis minoritas kecil, dengan populasi sekitar 30.000 jiwa, yang sebagian besar tinggal di tiga pulau, yakni Wanwei, Wutou, dan Shanxin di kota tersebut.

Duxianqin (yang disebut Dan Bau dalam bahasa Vietnam) merupakan sebuah monokord tradisional dan instrumen musik tradisional asli etnis Jing.

"Duxianqin terdiri dari sebuah papan suara lonjong dengan senar logam yang direntangkan di atasnya. Memetik senar dapat menghasilkan semua suara dalam skala pentatonik, dan untuk mengubah nada atau irama, pemain harus menyentuh batang kayu atau pasak yang dipasang di sisi papan," kata Su, yang juga merupakan salah satu nama besar dalam seni memainkan Duxianqin.

"Mempelajari Duxianqin pada tingkat pemula jauh lebih sulit dibandingkan dengan alat musik yang lebih populer, seperti piano dan biola," tambahnya.

"Proposal yang akan saya ajukan tahun ini memiliki fokus khusus untuk mendesak pemerintah agar meningkatkan upaya mempromosikan Duxianqin, yang populer di Vietnam, sehingga dapat menjadi jembatan pertukaran budaya antara China dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara," lanjut Su, setelah bekerja keras semalaman mengoreksi proposal dan usulannya untuk terakhir kalinya sebelum diajukan.
 
(Xinhua). .


Su mencatat bahwa di masa lalu, banyak sekali tantangan bagi seni memainkan monokord etnis ini untuk terus bertahan, apalagi berkembang.

Namun, melalui upaya yang cukup besar untuk melindungi dan mempopulerkannya selama lebih dari dua dekade, vitalitas baru telah disuntikkan ke dalam seni yang dulu hampir punah ini

Dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya takbenda oleh otoritas nasional pada 2011, status yang baru didapat ini merupakan sebuah anugerah besar bagi Duxianqin sebagai sebuah seni dan mereka yang hidup dan mengemban keahlian itu seperti Su, yang dengan bangga dinobatkan sebagai "pewaris" warisan budaya tersebut oleh otoritas regional di Guangxi.

Hanya dipisahkan sungai dengan Kota Mong Cai di Vietnam, Dongxing menyaksikan interaksi yang erat antara penduduk perbatasan China dan Vietnam.

Setelah terpilih menjadi anggota CPPCC pada 2023, Su berupaya memanfaatkan kedekatan antara wilayah yang dihuni etnis Jing dan negara-negara tetangga untuk menjadikan alat musik ini sebagai bagian penting dari ikatan budaya antara China dan Asia Tenggara.

"Seni Duxianqin tidak hanya eksklusif di China, namun juga telah menjadi bagian dari tradisi budaya di negara-negara seperti Vietnam dan Myanmar selama berabad-abad," kata Su. "Setiap tahun, penduduk perbatasan dari kedua sisi perbatasan akan menikmati Festival 'Ha' untuk menghormati leluhur bersama mereka dengan cara menyanyi, menari dan bermain Duxianqin. Ini adalah kesempatan untuk memupuk persahabatan, pengertian, dan rasa hormat yang lebih besar.

Pada 2005, Su melakukan perjalanan ke Hanoi di Vietnam dan mencari bimbingan seni Duxianqin dari para maestro. Selama bertahun-tahun, Su telah diundang untuk melakukan tur untuk menampilkan pertunjukan di berbagai negara dan kawasan di seluruh dunia.
 
 (Xinhua)


Permainan Duxianqin juga menjadi bagian dari daftar pertunjukan yang digelar selama China-ASEAN Expo, yang diadakan setiap tahun di Nanning, ibu kota Guangxi. 

"Memainkan lagu-lagu lokal di tempat yang saya kunjungi merupakan cara yang bagus untuk mendekatkan penonton saya, dan membuat mereka tertarik pada alat musik yang saya gunakan dan membuat mereka ingin mempelajarinya lebih lanjut, terutama orang-orang yang menciptakannya dan sejarah di balik itu."

Dengan perdagangan antara kedua pihak yang meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2010, ASEAN dan China, dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi mitra dagang terbesar bagi satu sama lain. Sementara itu, serangkaian forum budaya dan festival seni telah diselenggarakan untuk menyediakan lebih banyak platform guna meningkatkan pertukaran antarpihak.

Sebagai guru seni Gamelan, sebuah orkestra Indonesia yang sebagian besar terdiri dari instrumen perkusi, di Universitas Seni Guangxi, Randy Geovani Putra, seorang musisi Indonesia berusia 37 tahun, juga menjabat sebagai dekan Gamelan di universitas tersebut.

Dalam pengajarannya, Randy mencoba memadukan Gamelan dengan pertunjukan musik tradisional China, dan karyanya sangat diapresiasi oleh mahasiswa dan penonton.
 
   (Xinhua)



Berkat promosinya, semakin banyak mahasiswa di universitas itu yang jatuh cinta pada Gamelan. "Musik tidak mengenal batas. Saya berharap semakin banyak masyarakat China yang bisa mengapresiasi keindahan Gamelan, menjadikannya jembatan pertukaran budaya antara China dan tanah air saya," kata Randy

"Duxianqin dan Gamelan memiliki tingkat kesamaan tertentu dalam sejarah karena keduanya sebagian besar dimainkan di istana kerajaan untuk menghibur pejabat kerajaan sebelum dipopulerkan dan menjadi bagian penting dari identitas etnis," kata Su yang menaruh harapan besar bahwa usulan yang akan dia sampaikan dalam "Dua Sesi" tahun ini akan memberikan perbedaan, dan membuat Duxianqin berkontribusi lebih banyak untuk mempererat ikatan budaya antara China dan negara-negara ASEAN.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024