Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan bila ambang batas parlemen (parliamentary threshold) diubah maka presidential threshold juga perlu diubah.

"Akan tetapi kalau seandainya parliamentary threshold ini diubah maka untuk keadilan, presidential threshold juga perlu diubah," kata Yusa saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

Hal itu disampaikan Yusa untuk menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait dengan ketentuan ambang batas parlemen sebesar empat persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Baca juga: MK tegaskan tak hapus ambang batas parlemen, tetapi diatur ulang

Sementara itu, Yusa menilai penerapan ambang batas parlemen sebesar empat persen seperti yang diberlakukan pada pemilu 2024 sudah ideal.

"Memang risikonya akan ada suara yang terbuang, tetapi penerapan ambang batas ini untuk meminimalisir tidak efektifnya kinerja parlemen karena terlalu banyak partai politik," ujarnya.

Selain itu, dia menyebut bahwa angka ambang batas tersebut dikatakan ideal karena dapat membuat penyederhanaan partai politik di parlemen.

"Di sisi lain, ambang batas suara juga dapat membuat penyederhanaan partai politik, mengingat terlalu banyak partai politik dengan latar belakang ideologi atau basis massa yang sebenarnya tidak jauh berbeda," katanya.

Baca juga: Lima panduan MK untuk susun ambang batas parlemen yang baru

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait ketentuan ambang batas parlemen sebesar empat persen suara sah nasional yang diatur dalam UU Pemilu.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (29/2).

MK memutuskan, norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam pasal tersebut.

Saldi juga menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.

“Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” ujar Saldi.

Baca juga: Komisi II DPR punya semangat sama dengan MK soal putusan ambang batas
Baca juga: Soal putusan MK, MPR sebut presidential threshold juga perlu dikoreksi

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024