Jakarta (ANTARA) - Salah satu isi dari Sumpah Hippocrates adalah "Saya akan menggunakan pengobatan untuk menolong orang sakit sesuai kemampuan dan penilaian saya, tetapi tidak akan pernah untuk mencelakai atau berbuat salah dengan sengaja".

Seperti diketahui Sumpah Hippocrates adalah sebuah ikrar yang secara tradisional diucapkan para dokter terkait dengan etika mereka dalam menjalankan profesinya, dan berbagai variasi dari hal ini telah tersebar luas di berbagai negara.

Persoalan etika dalam mengobati orang pada saat ini menjadi sorotan utamanya di Korea Selatan, di mana awalnya menurut kantor berita Reuters, hampir 8.000 calon dokter mengundurkan diri dari pekerjaannya di negara itu untuk memprotes rencana pemerintah yang akan menerima lebih banyak kuota mahasiswa di sekolah kedokteran, dan diperkirakan akan lebih banyak lagi yang akan bergabung dengan mereka.

Para dokter yang masih menjalani pelatihan mengatakan bahwa pemerintah perlu memperhatikan gaji dan kondisi kerja terlebih dahulu sebelum menambah jumlah dokter, karena mereka mengatakan masih dibayar rendah dan bekerja terlalu keras.

Di lain pihak, otoritas Korsel mengatakan bahwa saat ini diperlukan lebih banyak staf kedokteran untuk meningkatkan layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil dan memenuhi tuntutan yang terus meningkat.

Aksi protes para dokter itu dipastikan akan berdampak karena ketidakhadiran mereka mengakibatkan sejumlah prosedur bedah dibatalkan dan ruang gawat darurat menolak pasien.

Bahkan, media BBC juga memberitakan bahwa Pemerintah Korsel telah meluncurkan penyelidikan atas kematian seorang wanita berusia 80-an setelah ambulansnya ditolak masuk ke beberapa rumah sakit karena pemogokan dokter yang sedang berlangsung.

Pasien nahas tersebut dikabarkan meninggal di ambulans di Kota Daejon pada 23 Februari lalu setelah mengalami serangan jantung.

Padahal, paramedis yang menangani kasus gawat darurat perempuan itu telah menelepon sekitar tujuh rumah sakit untuk dapat merawat wanita tersebut. Tetapi miris, yang ada hanyalah penolakan karena kurangnya staf dan tempat tidur.

Pasien itu akhirnya diterima di rumah sakit universitas negeri, 67 menit setelah dia pertama kali memohon pertolongan kepada pihak medis, tetapi perempuan itu dinyatakan meninggal pada saat kedatangan.

Pejabat pemerintah mengatakan mereka akan menyelidiki kasus yang telah diberitakan secara luas di media Korea Selatan tersebut.

Menurut BBC, negara itu telah menempatkan sistem layanan kesehatan mereka pada tingkat krisis tertinggi.

Apalagi, protes yang dilakukan para dokter tersebut telah meningkat menjadi ketegangan politik, dan para pejabat mengancam akan mengambil tindakan hukum.

Presiden Korsel Yoon Suk Yeol telah menolak tuntutan dokter untuk membatalkan kebijakannya dalam meningkatkan jumlah lulusan sekolah kedokteran dengan mengatakan bahwa negara tersebut perlu mengatasi kekurangan dokter karena menghadapi tantangan populasi yang menua dengan cepat.

Kepentingan komersial
Sejumlah pakar kesehatan masyarakat mengatakan bahwa dokter bertindak demi kepentingan komersial mereka sendiri.

Hal itu antara lain karena sistem layanan kesehatan Korea Selatan sangat diprivatisasi – dengan lebih dari 90 persen rumah sakit menanggung biaya – profesi medis enggan membuka diri terhadap lebih banyak persaingan dan potensi hilangnya pendapatan.

"Tetapi tidak mungkin masyarakat Korea Selatan harus menanggung ketidaknyamanan hanya untuk memenuhi kepentingan para dokter," kata Prof Jeong Hyoung-sun, seorang profesor administrasi kesehatan di Universitas Yonsei, dikutip BBC

Berdasarkan pemberitaan kantor berita Reuters, rencana pemerintah yang diumumkan pada Februari adalah akan meningkatkan jumlah mahasiswa yang diterima di sekolah kedokteran sebanyak 2.000 mulai tahun ajaran 2025 sehingga totalnya menjadi 5.000, dari 3.000 jumlah saat ini.

Kementerian Kesehatan mengatakan peningkatan ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan 15.000 dokter yang diproyeksikan pada 2035.

Selain itu, pemerintah berencana akan meningkatkan investasi dan menaikkan gaji dokter di wilayah regional dan pedesaan untuk mempertahankan layanan kesehatan penting di sana, serta akan memperkenalkan regulasi baru guna memperluas perlindungan hukum terkait maraknya sasaran tuntutan malpraktek.

Dipaparkan pula bahwa dengan jumlah 2,6 dokter per 1.000 orang, rasio dokter terhadap pasien di Korea Selatan termasuk yang terendah di antara negara-negara maju, demikian menurut data terbaru negara-negara Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Austria yang berada di peringkat teratas memiliki jumlah itu, 5,5 dokter per 1.000 orang.

Dokter spesialis di Korea Selatan rata-rata merupakan salah satu dokter dengan bayaran tertinggi di antara negara-negara maju, dengan pendapatan tahunan rata-rata sebesar 192.749 dolar AS (sekitar Rp3 miliar) pada 2020, menurut data OECD.

Namun, dokter umum di Korsel umumnya dibayar lebih rendah dari itu.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan setempat, terdapat disparitas pendapatan dokter spesialis yang signifikan tergantung pada bidangnya, di mana dokter anak merupakan dokter dengan bayaran paling rendah, dengan penghasilan 57 persen lebih rendah dari rata-rata keseluruhan. Sementara dokter bedah plastik dan dokter kulit di praktik swasta biasanya dibayar lebih baik.

Komunitas medis mengatakan bahwa jumlah dokter sudah mencukupi, dan menyebutkan ketersediaan layanan kesehatan bagi sebagian besar masyarakat sebagai contoh mengapa jumlah dokter bukanlah permasalahannya.

Mereka juga mengatakan bahwa jumlah yang diinginkan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dokter adalah sewenang-wenang dan pihak berwenang belum mempublikasikan dasar angka tersebut.

Tanpa mengatasi masalah mendasar berupa gaji dan kerja berlebihan, tidak ada insentif bagi peningkatan jumlah dokter untuk melakukan praktik di bidang yang penting, menurut komunitas medis.

Baca juga: Korsel akan perluas layanan telemedis antisipasi aksi protes dokter

Langkah drastis
Dengan kedua belah pihak, yaitu otoritas di satu pihak dan para dokter di pihak lain, yang masih bersikeras dengan tuntutannya masing-masing, membuat munculnya sejumlah langkah drastis.

Misalnya, kantor berita Yonhap melaporkan bahwa kepolisian Korea Selatan telah menggeledah kantor para pemimpin dan mantan pemimpin dua asosiasi dokter yang dituduh melanggar undang-undang medis negara tersebut di tengah pemogokan yang sedang berlangsung terhadap para dokter yang masih dalam masa pelatihan.

Kepolisian dikabarkan mengirim penyelidik ke kantor Asosiasi Medis Korea (KMA) dan Asosiasi Medis Seoul untuk memeriksa informasi di komputer dan ponsel karyawan mereka. Sebelumnya, Kemenkes telah mengadukan kepada polisi terhadap beberapa pengurus serikat pekerja, termasuk pimpinan KMA.

Tuduhan yang diajukan kementerian tersebut adalah pimpinan KMA memicu pemogokan massal peserta pelatihan dengan mendukung tindakan mereka dan memberikan bantuan hukum di tengah langkah hukum pemerintah untuk mengatasi protes tersebut.

Kemenkes juga berencana untuk menindak terhadap aksi mogok kerja "ilegal" yang dilakukan oleh dokter magang yang melanggar perintah pemerintah untuk kembali bekerja.

Salah satunya adalah dengan memulai prosedur untuk menangguhkan izin sekitar 7.000 dokter magang.

Pemerintah Korsel memberi waktu kepada para dokter yang melakukan protes hingga Kamis (29/2) lalu untuk kembali bekerja, dan memperingatkan mereka bahwa ketidakpatuhan dapat mengakibatkan tindakan hukuman, termasuk hukuman pidana atau pencabutan izin dokter mereka.

Sejauh ini, peringatan tersebut tidak banyak membantu mereka untuk kembali bekerja.

Aksi kedua belah pihak, meski masing-masing memiliki argumennya sendiri, jangan sampai mengabaikan hal yang lebih penting, yaitu hak dari setiap warga negara untuk memperoleh akses kesehatan dan perawatan yang memadai.

Jangan sampai pertikaian berbagai pihak memicu tragedi seperti meninggalnya pasien perempuan di Kota Daejan, beberapa waktu lalu itu. Ini adalah masalah serius, karena terkait persoalan antara hidup dan mati.

Baca juga: 7 hari mogok kerja, dokter magang Korsel diminta kembali bekerja Kamis

Copyright © ANTARA 2024