Jakarta (ANTARA) - Praktisi kesehatan, dr Ngabila Salama menyampaikan rumus "60:60" sebagai metode mendengarkan yang aman untuk melindungi organ telinga.

Hal tersebut disampaikan terkait peringatan Hari Pendengaran sedunia pada tanggal 3 Maret 2024.

"Mendengarkan dengan aman ingat rumus '60:60', yakni atur volume suara pada 'headset' maksimal 60 persen dan Istirahat setelah pemakaian maksimal 60 menit," kata Ngabila saat dihubungi di Jakarta pada Selasa.

Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Tamansari, Jakarta Barat, tersebut juga merinci beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga atau melindungi organ telinga.

"Hindari lingkungan bising atau lebih dari 85 desibel atau setara dengan tempat bermain permainan di mal. Bahkan bisa mencapai 96,1 sampai dengan 100 desibel," kata Ngabila.

Baca juga: Teman tuli tekankan kesetaraan di hari pendengaran sedunia

Ia menganjurkan tinggal di lingkungan dengan tingkat kebisingan demikian hanya sampai 15 menit. "Tidak boleh terlalu lama, selebihnya (di atas 15 menit) dapat merusak pendengaran," kata dia.

Kemudian, menghindari penggunaan "headset" dari telepon seluler saat pengisian daya.

"Terus jaga kebersihan telinga, hindari mengorek telinga dengan alat apapun termasuk 'cotton bud' dan sendok pembersih telinga dari besi," ungkapnya.

Ngabila juga menganjurkan masyarakat melakukan pemeriksaan kesehatan telinga secara rutin enam bulan sekali ke dokter THT terdekat, bukan hanya orang dewasa tetapi juga bagi bayi yang baru lahir. "Mulai dari bayi baru lahir," kata dia.

Baca juga: Dokter: Periksa kesehatan telinga setiap enam bulan sekali

Khusus untuk bayi yang baru lahir, kata Ngabila, dapat dilakukan pemeriksaan respons pendengaran dengan tes suara yang sederhana atau selama 5–10 menit.

"Ada dua metode tes pendengaran bayi yang umum digunakan, yakni tes 'automated auditory brainstem response' (AABR) dan tes 'otoacoustic emissions' (OAE)," kata dia.

Hal tersebut dilakukan lantaran pada kondisi gangguan pendengaran bawaan sejak dalam kandungan dan dibawa sejak lahir (tuli kongenital) akibat genetik atau infeksi TORCH, misalnya, dapat dideteksi sejak bayi baru lahir.

"Perlu juga dilakukan koreksi atau tata laksana atau operasi segera sebelum anak berusia 3-6 bulan. Di atas itu tuli bisa permanen dan tidak dapat disembuhkan kecuali pakai alat bantu dengar," kata Ngabila.

Baca juga: PERHATI KL: 60 persen gangguan pendengaran bisa dicegah

Penanganan yang terlambat, kata dia, dapat menimbulkan gejala gangguan pendengaran seperti tidak kaget saat mendengar suara berisik dan nyaring, tidak merespons atau menoleh ke arah sumber suara terutama jika bayi berusia di bawah empat bulan.

"Kemudian lambat saat belajar berbicara, belum bisa menyebutkan satu kata pun meski telah menginjak usia satu tahun," kata dia.

Ia mengajak seluruh masyarakat untuk secara rutin memeriksakan kesehatan telinga setiap enam bulan sekali.

"Mari bersama jaga kesehatan telinga dan pendengaran dengan rutin melakukan skrining ke dokter per enam bulan dan sedini mungkin," katanya.
Baca juga: Penggunaan headphone berlebih bisa memicu gangguan pendengaran

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024