Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi..."
Yogyakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) perlu pengawasan internal maupun eksternal, agar menjadi lembaga peradilan yang berwibawa sekaligus bermartabat, kata pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari.

"Pengawasan terhadap MK perlu dilakukan, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku hakim konstitusi," ujar Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII itu di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan.

Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim.

"MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK," katanya.

Ia mengatakan, sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Agung (MA) ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull.

"Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa ini," katanya.

Padahal, kata dia, ketika MK sangat kuat dan tidak ada lembaga yang memeriksa dan menyeimbangkan (check and balance), maka tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang.

Menurut dia, tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap pada Rabu (2/10), maka menjadi satu bukti bahwa pimpinan lembaga yang tidak mau diawasi itu menyalahgunaan kekuasaan.

Atas dasar itulah, ia menilai, sudah saatnya MK diawasi oleh lembaga pengawas internal maupun eksternal.

"Pengawas eksternal dilakukan oleh KY, karena KY merupakan lembaga yang secara konstitusional berwenang untuk itu, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945," demikian Sri Hastuti Puspitasari.

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013