Semarang (ANTARA) - Kirab budaya Dugderan yang menjadi tradisi masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah dalam menyambut bulan Ramadhan, Sabtu, berlangsung meriah meski diiringi dengan hujan yang cukup deras.

Prosesi kirab diawali upacara di Balai Kota Semarang, dengan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu yang berperan sebagai Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purboningrum.

Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purboningrum adalah personifikasi Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat karena kali ini sosok wali kota dijabat oleh perempuan.

"Ini menjadi salah satu rangkaian nguri-uri budaya dengan kegiatan-kegiatan menjelang Ramadhan," kata Ita, sapaan akrab Hevearita, yang diarak dengan kereta kencana menuju Masjid Kauman Semarang atau Masjid Agung Semarang.

Di belakangnya, jajaran pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), forum koordinasi pimpinan daerah (forkompinda) menaiki mobil golf, diikuti pasukan bergada dari 16 kecamatan.

Tak ketinggalan, Warak Ngendog, sosok binatang imajiner khas Semarang yang merupakan perpaduan kambing, buraq, dan naga turut ditampilkan dalam berbagai ukuran pada kirab budaya itu.

Baca juga: Persediaan ternak tradisi meugang Ramadhan di Aceh capai 71.638 ekor

Meski hujan mengguyur dengan intensitas cukup deras, masyarakat terlihat antusias menunggu di sepanjang rute kirab Dugderan, sembari menggunakan payung atau berteduh seadanya.

Bahkan, masyarakat tampak bersemangat saat pembagian kue ganjel rel, jajanan khas Semarang, dan perebutan lima gunungan makanan di Alun-Alun Semarang, di depan Masjid Kauman Semarang.

Ita mengatakan bahwa Dugderan sebenarnya adalah tradisi penanda agar masyarakat bersiap menyambut bulan suci Ramadhan, diramaikan dengan pasar rakyat dan diakhiri dengan kirab budaya.

Pada kirab budaya Dugderan kali ini, kata dia, semakin lengkap dengan adanya keikutsertaan masyarakat keturunan Tionghoa yang semakin menunjukkan kolaborasi dan akulturasi budaya.

"Ada arak-arakan pasukan bergada atau prajurit 40-an. Ditambah ada pembagian kue keranjang dari Paguyuban Tionghoa, selain kue ganjel rel di Masjid Agung Semarang dan dibagikan di alun-alun karena masih jaraknya berdekatan dengan Imlek," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Wing Wiyarso mengatakan, Dugderan diinisiasi oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat pada tahun 1881 dan dilestarikan tiap tahun menjelang Ramadhan.

Bukan hanya penanda masuk bulan puasa, kata dia, Dugderan juga merupakan bentuk toleransi dari berbagai budaya yang dibawa masyarakat di Semarang, seperti Jawa, Arab, China, dan Melayu.

Setelah penyerahan dan pembacaan suhuf halaqoh, yakni pengumuman penentuan bulan puasa di Masjid Agung Semarang, rombongan melanjutkan arak-arakan menuju ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang.

Baca juga: Wali Kota Semarang: Ramadhan momentum perkuat toleransi masyarakat
Baca juga: 84 ekor kerbau disembelih saat tradisi Bantai Adat di Merangin

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024