Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhi hukuman empat tahun penjara kepada mantan Wakil Direktur Petral selaku terdakwa kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura, Pertamina Energy Trading Limited (Petral), Zainul Arifin. Putusan yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Agus Subroto pada persidangan di PN Jakarta Pusat, Senin, itu jauh lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) delapan tahun penjara. Selain hukuman pidana, majelis hakim juga menjatuhi hukuman tambahan berupa denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan kepada mantan Wakil Direktur Utama Petral Bidang Keuangan dan Administrasi itu. Terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, seperti yang tercantum dalam dakwaan primer penuntut umum, pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Majelis hakim menyatakan, terdakwa melakukan perbuatan secara melawan hukum, karena mengeluarkan surat perintah set off kepada Bank Credit Suisse Singapore (CSS) yang mengakibatkan hilangnya uang Petral senilai 8 juta dolar AS di bank tersebut, dan mengalihkannya kepada rekening Aceasia milik Deddy Budhiman Garna. "Meski terdakwa berdalih telah diperdaya dan menandatangani surat set-off atas perintah Presiden Petral, Soekono Wahjoe, tetapi terdakwa tidak bisa melepaskan tanggungjawab dan karena itu telah melakukan perbuatan melawan hukum," kata Agus. Selama menjabat Wadir Petral, majelis hakim juga mengatakan, terdakwa telah menandatangani sejumlah dokumen, mulai dari permintaan transfer uang Petral yang ada di Bank Paribas Hongkong ke CSS, perjanjian pengelolaan aset milik Petral bersama pemilik Aceasia, Deddy Budhiman Garna, hingga surat perintah set off, yang harus diminta pertanggungjawabannya. Akibat perbuatan terdakwa, majelis hakim menyatakan, Petral telah kehilangan dana 8,251 juta dolar AS dan sebaliknya, Deddy Budhiman Garna sebagai pemilik Aceasia telah diperkaya senilai 8 juta dolar AS. "Karena Petral adalah anak perusahaan Pertamina yang sahamnya 100 persen dimiliki oleh Pertamina yang dimiliki oleh negara, maka dengan adanya kerugian Petral pada gilirannya adalah kerugian negara," kata Agus Subroto. Tuntutan JPU, agar terdakwa juga membayar uang pengganti kerugian negara senilai 8,251 juta dolar AS tidak dipenuhi oleh majelis hakim karena dinilai tidak adil dan berlebihan. "Fakta-fakta hukum menunjukkan bahwa terdakwa sama sekali tidak menikmati dana 8 juta dolar AS, maka tidak adil dan berlebihan apabila terdakwa menanggung uang pengganti kerugian negara seorang diri," kata Agus. Hal yang memberatkan, menurut majelis hakim, tindakan terdakwa sangat ceroboh dan tidak menuruti asas kehati-hatian dalam mengelola keuangan Petral. Selain itu, terdakwa dianggap menyembunyikan perbuatannya dan selama persidangan berbelit-belit dalam memberi keterangan. Menanggapi vonis majelis hakim, Zainul menyatakan, putusan itu sangat tidak adil karena ia sama sekali tidak merasa bersalah. "Saya pikir saya harus bebas, karena saya tidak bersalah, saya tidak melakukan apa-apa," ujarnya di persidangan. Agus menanggapi pernyataan Zainul itu dengan mengatakan, ada upaya banding apabila tidak menerima putusan majelis hakim di pengadilan tingkat pertama. "Untuk itulah ada upaya banding. Barangkali majelis hakim di tingkat pengadilan tinggi atau mahkamah agung nanti berpikir berbeda dengan keputusan kami," kata Agus. Zainul mencoba tenang menghadapi putusan majelis hakim. Namun, ibu Zainul yang selalu mengikuti persidangan tampak tidak bisa menerima putusan hakim. Perempuan berusia 80-an tahun itu berteriak-teriak kepada majelis hakim, sehingga akhirnya harus ditenangkan oleh Zainul. Bahkan, si ibu terus berteriak dalam bahasa Sunda setelah berada di luar ruang sidang, dan saat menuruni tangga gedung pengadilan. Zainul menyatakan, ia akan mengajukan banding setelah berkonsultasi dengan penasehat hukumnya, sedangkan Tim JPU yang diketuai Arnold Angkouw menyatakan pikir-pikir. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006