Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad menilai, PT Lapindo Brantas tidak serius dalam menangani luapan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang telah berlangsung selama 2,5 bulan. "Karena ketidakseriusan ini, maka PT Lapindo telah melakukan kejahatan yang sangat besar," kata Chalid di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin. Ia mengatakan, ada dua bukti nyata bahwa PT Lapindo tidak serius yakni tidak mengerahkan tenaga ahli dan peralatan secara maksimal untuk mengatasi luapan lumpur yang timbul akibat aktivitas eksplorasi gas. "Lapindo juga tidak memiliki skenario untuk menangani dampak lingkungan dan perekonimian serta memberikan kompensasi kepada masyarakat secara memadai," katanya. Chalid juga menilai, penyidikan kasus lumpur panas oleh Polda Jawa Timur tidak cukup diarahkan sebagai kejahatan individu tapi harus juga disidik sebagai kejahatan korporasi. "Dengan kejahatan korporasi, maka polisi bisa menangkap semua pimpinan Lapindo dan seluruh komisaris agar bisa diperiksa," katanya. Kedatangan Chalid dan sejumlah aktivis lingkungan hidup ke Mabes Polri bertujuan untuk beraudiensi dengan Kapolri dan Kabareskrim tentang penanganan hukum kasus Lapindo namun kedua pejabat itu tidak berada di tempat. Mereka juga mengaku tidak diterima seorangpun saat akan menyampaikan laporan polisi (LP) soal kasus Lapindo ke Bareskrim Polri. Mereka lalu menemui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Paulus Purwoko untuk meminta agar bisa diagendakan untuk bertemu dengan Kapolri. "Saya kecewa karena tidak ada yang menemui kami di sini. Padahal kedatangan kami ini sudah yang kedua kali. Bulan lalu kami juga akan beraudiensi dengan Kapolri namun gagal juga," katanya. Luapan lumpur panas mulai terjadi 29 Mei 2006 dan terus terjadi hingga kini. Luapan ini telah menyebabkan ratusan rumah, sejumlah pabrik dan fasilitas umum terendam lumpur. Genangan lumpur juga menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol beberapa kali ditutup. Jalur kereta api juga terendam lumpur yang berakibat terganggunya perjalanan kereta api. Hingga kini, Polda Jawa Timur telah menetapkan sembilan tersangka mulai dari level petugas lapangan hingga jajaran pimpinan. Para tersangka dijerat dengan pasal 187 dan 188 KUHP, UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006