Jakarta (ANTARA) - Ketua nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur Umar Faruk mengakui bahwa pihaknya melakukan pengubahan atau replacement 1402 Data Pemilih Tetap (DPT) Pos Pemilu 2024 tingkat Kuala Lumpur, Malaysia, tanpa melalui rapat pleno.

Hal itu terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mencecar Umar Faruk dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa.

“Apakah di sekitar bulan Desember (2023) sampai tanggal 4 Januari 2024 ada dilakukan pengurangan, mengeluarkan nama-nama dari daftar pemilih. Kemudian, memasukkan data-data baru yang diperoleh dari data domestik atase ketenagakerjaan?” tanya jaksa kepada Umar.

“Iya,” jawab Umar.

“Berapa banyak nama pemilih itu?” tanya jaksa lagi.

“1402,” jawabnya.

“Apakah terhadap perubahan, pengurangan, dan penambahan DPT itu dilakukan melalui pleno terbatas atau terbuka?” tambah jaksa menanyakan.

“Tidak,” imbuh Umar.

Jaksa kemudian mendalami sosok yang berinisiatif untuk mengubah DPT Pos tersebut. Umar lantas mengatakan, replacement itu atas inisiatif Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Keuangan Tita Octavia Cahya Rahayu yang juga terdakwa dalam perkara ini.

Umar mengatakan bahwa Tita berkirim pesan melalui grup WhatsApp yang didalamnya ada anggota dan sekretariat PPLN Kuala Lumpur. “Di situ, saudara Tita sudah mengangkat isu itu dan bahkan sudah mengirimkan file-file-nya dan tidak ada yang menanggapi saat itu,” ucap Umar.

Diakui Umar, 1402 data DPT Pos itu diambil dari data domestik atase ketenagakerjaan. Namun, ketika ditanyai jaksa apakah data tersebut telah diverifikasi seperti dalam tahapan pencocokan dan penelitian data (coklit), Umar berdalih hanya melakukan tugasnya sebagai Ketua PPLN dan tidak pernah membuka data tersebut.

“Tidak (diverifikasi). Karena saya selaku ketua itu kan mengakomodir apa yang menjadi keperluan dan kebetulan saat itu divisi data memerlukan data untuk database, sehingga kita mintakan saja melalui kepala perwakilan ke atase ketenagakerjaan, tapi saya tidak pernah membukanya,” kata dia.

Di samping itu, Umar pun mengaku tidak tahu ada atau tidaknya peraturan perundang-undangan atau peraturan KPU (PKPU) yang membolehkan PPLN meminta data lain setelah DPT ditetapkan.

“Di mana itu? Undang-Undang Pemilu kah atau PKPU nomor berapa yang membolehkan PPLN untuk meminta data setelah penetapan DPT?” kata jaksa bertanya.

“Tidak tahu,” jawab Umar.

Pada perkara ini, tujuh anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur didakwa memalsukan data dan daftar pemilih luar negeri Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Ketujuh orang terdakwa tersebut adalah Ketua PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Keuangan Tita Octavia Cahya Rahayu; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Data dan Informasi Dicky Saputra; dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi SDM Aprijon.

Berikutnya, Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Sosialisasi Puji Sumarsono; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Khalil; dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Logistik Masduki Khamdan Muhammad.

Jaksa mengatakan para terdakwa memasukkan data yang tidak benar dan tidak valid karena tidak sesuai hasil coklit ke dalam DPS, menjadi DPS Hasil Perbaikan (DPSHP), dan kemudian ditetapkan menjadi DPT.

Para terdakwa juga disebut memindahkan daftar pemilih metode Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke metode Kotak Suara Keliling (KSK) dan Pos dalam kondisi data dan alamat pemilih yang tidak jelas atau tidak lengkap.

Sementara itu, dalam dakwaan kedua, para terdakwa didakwa dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih setelah DPT ditetapkan.

Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 544 atau Pasal 545 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Sekretaris PPLN Kuala Lumpur bantah lobi perwakilan parpol
Baca juga: Hakim telusur alasan PSU di Kuala Lumpur ke Komisioner KPU
Baca juga: Di persidangan, KPU RI jelaskan status tujuh anggota PPLN Kuala Lumpur

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024