Orang yang tertular dari TBRO akan jadi TBRO juga ya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan, kerja sama oleh berbagai pihak dibutuhkan untuk mengatasi masalah Tuberkulosis Resisten Obat (TBRO) di Indonesia.

Dalam acara "Pengobatan TBC RO, Kini Sembuh Lebih Cepat" yang disiarkan di Jakarta Rabu
dia mengatakan, apabila masalah TBRO tidak diatasi, maka akan sangat berbahaya.

Karena itu, perlu ada upaya untuk mendeteksi penyakit tersebut agar notifikasi kasusnya naik, sehingga pengobatan dapat diberikan dan tingkat kesuksesan penyembuhan naik.

"Jadi ya kalau kita sayang rakyat kita yang TBRO, karena TBRO kan jadi ancaman. Orang yang tertular dari TBRO akan jadi TBRO juga ya," katanya.

TBRO adalah jenis tuberkulosis akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap pengobatan TBC.

Maxi menuturkan, pada 2024, Kemenkes menargetkan untuk mendeteksi sebanyak 900 ribu kasus TBC dari target 1.060.000.

Selain itu, ujarnya, Kementerian kesehatan menargetkan untuk mendeteksi 80 persen target pasien TBRO, dan 100 persen target TBSO (Tuberkulosis sensitif obat).

"Dari catatan terakhir tahun 2023, TBRO kita ada 12.000 lebih. 12.262. Namun, yang enrollment, mulai pengobatan 70 persen," katanya.

Menurutnya, tingginya angka putus pengobatan menjadi permasalahan baru, sementara cakupan pengobatan bagi pasien TBRO belum mencapai target.

Terlebih lagi, ujarnya, dari 70 persen pasien yang berobat tersebut, tidak semuanya sukses.

Pada kesempatan itu, dia menuturkan sejumlah tantangan yang perlu diatasi guna menyehatkan para warga yang terkena kondisi tersebut. Yang pertama adalah sistem rujukan rumah sakit dan puskesmas.

Yang kedua, adalah kebosanan ketika mengonsumsi obat-obatan TBRO.

"Kita aja minum obat satu minggu karena flu, kadang-kadang gak selesai gitu, dengan jumlah obat cuma dua tiga, apalagi ini jumlah obatnya banyak gitu. Terus harus minum minimal 1,5 tahun sampai 2 tahun TBRO. Tentu itu kan sudah pasti banyak, sudah pasti bosan," kata Maxi.

Masalah-masalah lain, katanya, adalah efek samping obat.

Dia menjelaskan, masalah ketiga adalah akses, baik ke obat-obatan maupun ke fasilitas kesehatan untuk pengobatan.

"Sekarang sudah SK baru hampir semua kabupaten kota ya, 1 rumah sakit. Dulunya hanya ditunjuk 30-an rumah sakit, ya mungkin 3-4 tahun lalu," katanya.

Menurutnya, selain kerja sama, diperlukan juga inovasi, contohnya seperti pengobatan TBRO jangka pendek, dengan obat-obatan yang tidak banyak, sehingga dapat diambil selama enam bulan saja.

Dia menjelaskan pula, apabila semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah berkomitmen penuh dan bekerja keras untuk menangani TBC, maka angka insiden penyakit itu dapat turun dalam waktu enam tahun, dari 354 per 100 ribu menjadi kurang dari 65 per 100 ribu.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024