Jakarta (ANTARA) - Anggota Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Dr. dr. Erlina Burhan SpP(K) mengingatkan komunitas tentang target penurunan tuberkulosis (TBC) dunia pada 2030.

"Dunia saat ini sedang menuju 'End TB Strategy' atau eliminasi TBC di tahun 2030 dan Indonesia harus ikut di dalamnya. Dan targetnya adalah enam tahun lagi kita harus menurunkan incident rate dari 385 per 100 ribu penduduk menjadi 65 saja per 100.000 penduduk di tahun 2030," kata Erlina dalam diskusi daring "Menjelang Mudik Lebaran" di Jakarta, Rabu.

Erlina berharap target penurunan tuberkulosis sebesar 80 persen menjadi 20 persen di tahun 2030 itu dapat disebarluaskan kepada seluruh penduduk Indonesia agar bisa ikut membantu bangsa dan negaranya dalam upaya mengatasi TBC.

Sekitar 10 persen insiden kasus TBC di dunia berada di Indonesia (1,06 juta kasus di Indonesia pada 2022 menurut WHO), dengan jumlah kasus TBC resisten obat (TB-RO) mencapai 31 ribu dan kematian akibat TBC setara dengan 16 jiwa per jam.

Baca juga: Dokter: TB dapat menyebar ke organ selain paru-paru

Baca juga: Dokter berikan tips pencegahan agar TB tidak jadi TBRO


Statistik itu diperparah dengan fakta bahwa Indonesia memiliki beban Triple Burden, yaitu tidak hanya memiliki kasus TBC resisten obat (TB-RO), melainkan tiga sekaligus, termasuk TBC sensitif obat (TB-SO) dan TBC Human Immunodeficiency Virus (TB-HIV).

"Tiga-tiganya Indonesia itu ada di dalam ranking dunia. Yuk kita sama-sama bantu dengan menyebarluaskan berita ini agar masyarakat terpanggil untuk membantu negaranya, bangsanya untuk mengatasi TB ini," kata Erlina.

Sebenarnya tingkat keberhasilan pengobatan TBC di Indonesia mencapai 86 persen.

"Namun kita sudah tahu bahwa TBC merupakan penyakit menular dari bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bisa menyebar akibat kontaminasi udara dengan droplet," katanya.

Setiap kali droplet tersebut menyebar melalui bersin,  dari sebuah literatur di dalamnya bisa terdapat 1 juta bakteri TBC," kata Erlina.

Kementerian Kesehatan hingga saat ini baru melaporkan 834 ribu kasus TBC dan artinya ada sekitar 200 ribuan kasus lagi yang belum ditemukan karena WHO menyebut jumlah kasus TBC Indonesia mencapai 1,06 juta pada 2022.

Erlina menyatakan kasus TBC yang tidak ditemukan dan berhenti berobat sebelum selesai pengobatan ini berpotensi untuk terus menjadi sumber penularan TBC di masyarakat.

"Bila seseorang TBC resisten obat, saat dia batuk maka droplet yang keluar adalah droplet yang mengandung bakteri yang juga resisten terhadap obat. Sehingga kalau itu terhirup orang di sekitarnya, orang yang tidak pernah sakit TBC malah bisa mengidap penyakit TBC yang langsung resisten terhadap obat," kata Erlina.

Erlina khawatir TBC dapat memberikan dampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang mengidapnya, seperti stigma dan diskriminasi, menambah beban biaya untuk berobat, kehilangan pekerjaan, hingga berhenti sekolah.

"Bahkan saya dengar ada yang sampai piring dan gelasnya sampai dipisah, padahal sebetulnya pencegahan seperti itu tidak diperlukan," kata dia.

Kabar baiknya, saat ini pengobatan TBC terus berinovasi sehingga bisa dipersingkat menjadi empat bulan (TBC sensitif obat) dan enam bulan (TBC resisten obat).

Pengobatan TBC sensitif obat (TB-SO) selama empat bulan dilakukan dengan regimen isoniazid, rifapentine, moksifloksasin, dan pirazinamid.

"Saat ini sedang penelitian pengobatan TB-SO selama dua bulan, mudah-mudahan kita juga bisa pakai regimen yang dua bulan ya," kata Erlina.

Sedangkan pengobatan TB resisten obat (TB-RO) selama enam bulan dengan regimen bedaquiline, pretomanid, dan linezolid (BPaL) atau moxifloxacin (BPaL/M).

Baca juga: Dokter jelaskan proses TB yang sebabkan penumpukan cairan di paru

Baca juga: Lingkungan padat penduduk lebih berisiko menularkan TB

Baca juga: Perlu kedisiplinan dari penderita TBC di lingkungan kerja


 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024