Penyakit TBC pada anak gejalanya justru bukan batuk, ya. Ini perlu saya garisbawahi, bukan batuk. Tetapi lebih banyak pada berat badannya turun
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan integrasi antara penanganan tuberkulosis dan stunting penting agar kasus TBC pada anak dapat segera diketahui dan diobati.

"Penyakit TBC pada anak gejalanya justru bukan batuk, ya. Ini perlu saya garisbawahi, bukan batuk. Tetapi lebih banyak pada berat badannya turun. Yang tidak mau makan, yang rewel, kemudian ada pembesaran kelenjar di leher," kata Imran dalam Press Briefing Hari Tuberkulosis Sedunia 2024 yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan hal tersebut sebagai respon dari pertanyaan mengenai kasus TB pada anak karena ada peningkatan penemuan kasus TB pada anak pada 2023 sebesar 2,5 kali dibanting 2021.

Pada 2021, terdapat 42.187 kasus TBC pada anak, dan pada 2023 tercatat 134.528.

Baca juga: Dokter ajak masyarakat perhatikan gejala pada anak terkait TB

Menurutnya, sejumlah faktor yang menyebabkan peningkatan penemuan seperti itu adalah penemuan kasus yang rendah pada saat pandemi COVID-19, sehingga para penderita belum sempat diobati saat itu, yang menyebabkan penularan pada orang lain.

Ia menyebut bahwa yang membuat seseorang rentan terhadap TBC adalah merokok, penyakit lain yang menurunkan kekebalan seperti diabetes, serta nutrisi. Dia menilai, anak dengan nutrisi yang buruk rentan terkena TBC.

Dengan ciri-ciri tuberkulosis pada anak yang bukan batuk tersebut, ujarnya, maka upaya untuk mendeteksi diperluas melalui integrasi dengan kegiatan lain, seperti penanganan stunting, melalui penimbangan di pos pelayanan terpadu.

"Jadi pada saat penimbangan di posyandu, kalau ada anak yang dinilai berat badannya tidak mencapai berat badannya yang diharapkan, maka kita atau nakes akan melihat penyebabnya apa. Karena mungkin bukan hanya masalah gizi terutama," katanya.

Baca juga: Tuberkulosis pada anak lebih sulit dideteksi tapi bisa diobati

Selain integrasi tersebut, katanya, upaya deteksi juga dilakukan dengan investigasi kontak. Apabila ada anggota keluarga yang terkena TB,  maka anak-anak yang tinggal dengan serumah juga perlu diperiksa.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Erlina Burhan mengatakan anak adalah salah satu dari kelompok yang rentan terkena TB karena sistem imunnya belum berkembang.

Dia mengatakan 30 persen dari orang yang terinfeksi kuman penyebab TB, 5 hingga 10 persennya langsung terkena penyakit itu, sementara pada sisanya, kumannya dalam status dorman.

Menurutnya, terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) perlu diberikan pada kelompok yang berisiko tinggi, agar kuman yang dorman tersebut tidak aktif.

"Orang dengan HIV yang tidak terlalu berat, orang yang tinggal serumah dengan pasien TB, contohnya anak-anak balita, anak remaja 5-14 tahun. Kemudian juga kelompok risiko layaknya adalah orang yang kekebalan tubuhnya rendah," kata dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Selain itu para tenaga kesehatan, warga binaan di penjara, pemakai narkoba, dan orang yang tinggal di pemukiman padat penduduk.

Baca juga: Dinas Kesehatan OKU Sumsel cegah penyakit tuberkolosis pada anak

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024