Jakarta (ANTARA) - National Professional Officer Tuberculosis dari WHO Indonesia dr Setiawan mengatakan penemuan kasus tuberkulosis secara aktif yang dibarengi dengan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) dapat mengurangi insiden sebesar 18-44 persen.

Dia menjelaskan, angka tersebut didapatkan dari studi WHO di Brazil, Georgia, Kenya, dan Afrika Selatan. Setiawan menilai, kedua upaya tersebut penting dilakukan secara bersama, karena hal itu dapat menyelamatkan banyak orang dari kematian, dan juga mengurangi beban sosio-ekonomi.

"Kombinasi antara penemuan kasus secara aktif dengan pengobatan pencegah, ini juga kalau kita lihat dari sudut pandang ekonomi, akan memberikan return of investment yang cukup besar. Bisa sampai 39 kali lipat daripada jumlah uang yang kita investasikan untuk kegiatan skrining dan preventif," ujarnya dalam Press Briefing Hari Tuberkulosis Sedunia 2024 yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, penemuan kasus TB secara aktif dapat menyingkirkan diagnosis TB pada populasi berisiko yang menjadi sasaran, sehingga membuka peluang untuk memberikan pencegahan kepada mereka yang terbukti bukan penderita TB.

Baca juga: Kemenkes: Integrasi penanganan TBC penting dalam pengobatan pada anak

Baca juga: Kemnaker ajak perusahaan aktif tangani tuberkolosis di tempat kerja


"Pelaksanaan kedua kegiatan tadi, kalau terpisah terus, itu akan menimbulkan inefisiensi dan pemborosan sumber daya karena harus datang dua kali untuk pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan sekali," katanya.

Sejak 2020, kata dia, WHO merekomendasikan kedua upaya itu diintegrasikan satu sama lain. Sebagai awalan, ujarnya, WHO merekomendasikan beberapa populasi berisiko sebagai prioritas dalam program tersebut.

Adapun kelompok-kelompok tersebut, kata dia, adalah kontak serumah dan kontak erat penderita TB, orang dengan HIV, pekerja yang terpapar debu silika, warga binaan pemasyarakatan, serta pengungsi.

"Dari kelompok-kelompok tadi muncul, 'lapakah kita akan meng-engage semua? Bisa dilakukan secara bertahap. Kalau secara bertahap, mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu oleh program nasional WHO merekomendasikan kontak serumah yang menjadi prioritas utama," katanya.

Hal tersebut, dia nilai, penting karena menurut studi-studi terbaru, kontak serumah berisiko terkena TB 16 kali lipat dibandingkan populasi umum. Oleh karena itu, kegiatan penjangkauan kontak serumah digalakkan di banyak negara, termasuk Indonesia, katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Erlina Burhan mengatakan dari semua orang yang menghirup kuman TB, 70 persen tidak jatuh sakit, dan 30 persen terinfeksi, namun tidak jatuh sakit, dan kumannya dorman (kuman tidur) di dalam tubuh.

"Tapi, ada orang yang tadi terinfeksi, walaupun tidak sakit tapi suatu ketika punya risiko untuk jadi sakit TB atau kita sebut orang yang risiko tinggi. Nah orang-orang berisiko tinggi inilah yang perlu diberikan terapi pencegahan," kata dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Terapi tersebut, katanya, bertujuan agar kuman yang dorman itu tidak aktif.*

Baca juga: Aktivis: Anak muda berperan penting guna berantas TB di Indonesia

Baca juga: Otsuka perangi TBC di tempat kerja dengan intervensi gizi penderita

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024